Chapter 7. Pertanyaan dan Keraguan

.

Saking hilang arahnya ia menghadapi Hikaru, Akira pun menghubungi Ogata keesokan paginya. Fakta bahwa Ogata telah tahu duduk permasalahannya, bahkan sebelum ia menceritakannya secara lengkap, mungkin menjadi bukti adanya suatu masalah yang lebih besar. Betapa cepatnya cara kerja jaringan rumor Ki-In, tepatnya.

Semalam, pulang dari hotel, ia sudah dibombardir oleh pesan Morishita—disusul oleh telepon ketika ia sadar bahwa pesannya sudah dibaca—yang berusaha mengulik detail kapan dan di mana ia bertemu Cye dan Hikaru. Morishita dan Isumi adalah sahabat akrab Hikaru dulu, bahkan lebih dari Akira, karena mereka menduduki status sebagai kakak angkat Hikaru. Wajar bahwa ketika Hikaru pergi tanpa kabar sedikitpun, mereka pun sama bingung dan hilang arahnya seperti dirinya. Bahkan, bisa jadi kesamaan di antara mereka itulah yang bisa membuat Akira akrab dengan kedua pemain pro itu. Akira hanya bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka, ketika Hikaru mendadak muncul di Ki-In, tak hanya mengklaim seorang shodan baru sebagai putranya, tetapi juga mengajukan tuntutan agar shodan tersebut diberhentikan. Terlebih, Akira, yang mereka sangka juga ada di lembar yang sama dengan mereka, ternyata sudah tahu terlebih dahulu mengenai informasi ini dan tak membaginya dengan mereka.

Mungkin Akira sepantasnya merasa bersalah untuk hal ini. Tapi jika mau jujur, bagaimana ceritanya ia bisa mengatakannya, ketika selama ini ia menyimpan rapat-rapat satu kebenaran dari mereka?

Ah, jangan kata dirinya, untuk masalah ini, ia bahkan yakin Hikaru tak pernah bicara apapun. Tidak satu katapun.

Morishita adalah sahabat karib Hikaru. Hubungan mereka lebih dari sekadar teman, sekadar sahabat, bahkan juga sekadar kekasih. Hikaru tak pernah menyimpan apapun darinya. Jadi bayangkan perasaannya, ketika ia menemukan fakta bahwa selama ini Hikaru menyimpan masalah sebesar ini. Tak heran jika ia merasa tak dipercaya. Tak heran jika ia merasa terkhianati. Tak heran jika ia—lebih dari Akira—merasa bahwa dirinya tak berarti.

Sungguh Akira ingin bicara, tapi sungguh ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ini bukan cuma masalah kepercayaan. Ini juga … ah, bagaimana mengatakannya? Mengakui semua ini pada Morishita sama halnya dengan mengatakan bahwa ia, dengan tangannya sendiri, yang menjadi pangkal semua kekusutan ini. Ia yang menyebabkan Hikaru pergi, dan ia pula yang menyebabkan Hikaru kehilangan karirnya. Mungkin, ia juga yang menyebabkan putra Hikaru sampai nekad datang ke Jepang dan menempuh jalur ilegal hanya untuk menjadi pro—hal yang jelas hanya akan berdampak negatif bagi karirnya di masa depan. Bahkan setelah itu, ia masih juga menimbulkan masalah dengan … yah, dengan tidak menyediakan solusi bagi semua masalah ini. Bagaimana tepatnya, menjelaskan semua itu pada Morishita, ketika semuanya masih sangat membingungkan?

Akhirnya, ia hanya menjelaskan seperlunya—bahwa ia diminta Ogata untuk menghadapi Cye di Shinshodan, bahwa ia baru tahu belakangan bahwa Cye adalah putra Hikaru, bahwa Cye mengatakan bahwa ia butuh tumpangan dan ia memberinya kesempatan untuk tinggal di salon, bahwa Hikaru datang ke salonnya untuk … mengambil kembali Cye. Tidak, ia tidak pernah mendengar apapun dari Hikaru selama ini. Tidak, ia sama sekali tidak menduga soal hubungan Cye dan Hikaru. Ya, ia pun sama kagetnya dengan Morishita dengan fakta tersebut. Dan tentu saja, tidak, ia tidak tahu mengapa Hikaru pergi, atau alasan apa yang membawa Cye ke Jepang, tepatnya lagi Nihon Ki-In, ketika ia bisa saja menjadi pro di Cina atau Korea.

("Mungkin karena standar pro di Jepang lebih rendah ketimbang Cina atau Korea?" begitu ia mengajukan alternatif kemungkinan, yang ia tahu sebenarnya hanya untuk mengalihkan perhatian.

"Masa sih? Dia kan lulus sempurna, ditambah lagi sampai mengalahkanmu segala di Shinshodan! Jangan tersinggung, Touya, tapi menurutku dia sama sekali tidak kecil hati dengan kemampuannya. Lagipula, kalau ia mencari yang mudah, kenapa ia tidak mengambil jalur khusus tes untuk orang asing?" rupanya Morishita tidak sebodoh itu. Bahkan bisa jadi ia yang bodoh, karena bukankah itu berarti ia menanam pertanyaan di benak Morishita?

"Aku tidak tahu. Aku sungguh tidak tahu," kehabisan ide, ia memutuskan menempuh jalan aman.)

Ia merasa bak pembohong besar sesudahnya. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan?

.

"Jadi, kudengar anak misterius itu benar-benar adalah putra Shindou Hikaru?" tanya Ogata tanpa basa-basi, ketika ia mendatangi Akira di salonnya.

Akira mengangkat kepalanya dari formasi yang terhampar di atas goban. "Selamat pagi, Ogata-san," salamnya.

Bahwa ia mengajak Ogata bertemu di salonnya pada Minggu pagi tak hanya menjadi bukti lebih jauh mengenai betapa terdesaknya ia. Siang nanti, seperti biasa ia harus ke Setagaya untuk mengisi terapi go, sehingga waktunya sangat terbatas. Tapi ia harus bicara dengan Ogata, karena siapa lagi yang bisa ia ajak bicara selain kakak seperguruannya itu?

Ogata hanya mengibas menanggapi sikap formal Akira. Tanpa banyak basa-basi, ia mengambil duduk di hadapannya, lantas menyerok batu-batu di atas goban dan memisahkannya, tak peduli ada permainan setengah jalan yang sedang Akira rekonstruksi di sana.

Mendesah, Akira memilih tak memperpanjang masalah ini dan menjawab ajakan Ogata untuk melakukan nigiri. Keberuntungan rupanya tak berpihak padanya, karena ia mendapatkan biji putih. Menunggu Ogata meletakkan batu pertamanya, ia pun mengajukan pertanyaan yang ditahannya sejak tadi.

"Dari mana Ogata-san tahu?" Ah, haruskah ia bertanya? "Apa Ki-In mengatakannya?"

Ogata tak menjawab, hanya melirik Akira seraya mengangkat alis seolah berkata, "Menurutmu?"

Akira mendesah seraya membalas langkah pertama Ogata. "Kalau begitu, Ogata-san pasti tahu soal kasus Cye-kun?"

Meletakkan batu berikutnya, Ogata menggerutu, "Tidak ibu tidak anak. Mungkin memang di nadinya mengalir darah pembuat masalah?"

"Tidak seperti itu! Sebenarnya dia anak yang baik, Ogata-san!"

"Hei, sabar, Akira! Kenapa juga malah kamu yang tersinggung?"

Ucapan Ogata membuat Akira terdiam. Berusaha meluruskan pikirannya yang kusut, dengan hati-hati ia meletakkan batunya di titik aman. Titik yang sedikitnya dapat membuatnya bertahan walau pikirannya tidak 100% ada di goban, maksudnya.

"Tapi aku sungguh tidak menyangka," ucap Ogata lagi, meletakkan batu berikutnya. "Shindou mendadak menghilang empatbelas tahun lalu, dan mendadak putranya yang berusia 13 tahun muncul di Ki-In? Menurutmu, apa kepergian Shindou ada hubungannya dengan kehamilannya?"

Akira sudah sampai pada kesimpulan itu sendiri. Yang membuat dadanya sesak, kalau mau jujur. Lamat-lamat, ia mengangguk.

"Ck. Aku tahu Shindou bodoh, tapi aku tidak mengira dia benar-benar bodoh!" gerutu Ogata. "Hamil di usia 17 tahun, dan kabur gara-gara takut omongan orang? Apa dia meninggalkan otaknya di goban?"

Ogata berdecak lagi, sebelum kembali mengomel panjang lebar.

"Kupikir setidaknya dia bisa sedikit lebih pintar. Taruhlah dia begitu tololnya sampai hamil segala, tapi memangnya dia harus langsung cabut dari Ki-In? Apa dia pikir kita sebegitu kolotnya? Okelah, mungkin dia menciptakan sedikit skandal... Tapi ia sangat berbakat, tak mungkin Ki-In sampai memecatnya untuk hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan go. Kalau ia sebegitunya ingin menjaga nama baik dan menyembunyikan kehamilannya, apa susahnya sih cuti setahun-dua tahun? Kenapa juga harus kabur tanpa kabar sama sekali?"

"Itu bukan salah dia, Ogata-san!"

"Ya, tentu saja itu bukan salah dia. Itu jelas-jelas salah cowoknya! Seidiot apa sih dia, sampai tidak mengerti konsep safe sex? Belum lagi, ke mana dia? 14 tahun membiarkan Shindou membesarkan anaknya sendirian? Dasar bajingan tidak bertanggung jawab, dia benar-benar menginjak-injak harga diri kaum lelaki! Bahkan aku yang dibilang player juga tak sebegitu bodoh... Apa jangan-jangan dia menolak bertanggung jawab demi menyelamatkan reputasinya sendiri? Laki-laki seperti itu pantasnya dikebiri lantas dicincang kecil-kecil! Anunya lebih berharga jadi makanan ikan daripada tetap menempel di tubuhnya! Hei Akira, kau kenapa?"

Akira, yang tanpa sadar sudah merapatkan kakinya, buru-buru menggeleng.

Jarang-jarang Ogata mengomel panjang-lebar begini. Dulu memang hubungan Shindou dengan Ogata tidak terlalu akrab—Shindou jelas agak antipati pada pemain senior itu, mengatai dia pedofil cabul dan lain sebagainya—tapi siapapun tahu bahwa di balik sikap sinisnya, Ogata sebenarnya memandang tinggi kemampuan gadis itu. Tapi sungguh Akira tidak menyangka Ogata bisa membela Shindou sebegininya. Yang membuatnya ingin menenggelamkan diri ke palung laut terdalam, sebenarnya. Jika saja ia tahu siapa yang menyebabkan semua kemalangan ini pada Shindou...

Ucapan Ogata selanjutnya membuat jantungnya berhenti berdetak.

"Apanya yang pemain jenius," makinya. "Dia sungguh mempermalukan dunia go!"

Di titik itu, Akira mengangkat kepalanya dari atas goban, matanya nanar menatap pria di hadapannya.

"A-apa … Ogata-san … tahu...?"

"Soal siapa bajingan tolol yang menghamili Shindou? Tentu saja!"

Akira menelan ludah, menatap kakak seperguruannya dengan wajah pasi.

"O-Ogata-san...," suaranya tercekat di tenggorokan. "A-aku..."

"Ko Yeong-ha, kan?"

"Hah?"

"Benar, kan? Memang siapa lagi kalau bukan cowok brengsek itu?"

Akira mengerjap. "... Ko?"

"Jangan bilang kau belum sampai pada kesimpulan itu. Sumpah, seumur hidup aku tidak pernah membenci kebodohan orang sebegininya. Kalau aku saja begitu ingin mencabik-cabik bocah itu, bagaimana perasaan teman-teman Shindou, coba? Aku bisa membayangkan Shindou datang padanya, memohon-mohon, dan dia mencampakkan Shindou begitu saja. Pantas saja Shindou jadi benci sekali pada go."

"..."

"Tapi kau tahu apa yang membuatku lebih marah?" ujar Ogata, merendahkan suaranya dan mendekatkan wajahnya pada Akira, hanya untuk menatap matanya. Baru Akira sadar bahwa napas lelaki itu agak bau minuman. "Aku menghubungi Ko. Menanyakan barangkali ia tahu sesuatu soal Cye-kun. Kau tahu ia bilang apa?"

Jemari Akira yang tengah terkubur di dalam goke berhenti bergerak.

"Dia bilang, 'Oh? Si anak jalang itu lagi? Apa yang dia lakukan kali ini?' Kau bisa percaya itu? Ia bukan cuma menyebut Cye-kun anak jalang, ia juga bersikap seolah mengenalnya!"

Akira merasa dirinya membeku.

"Sudah jelas, Shindou atau Cye-kun pernah menghubunginya. Tapi ketika mereka meminta pertanggungjawaban, Ko menolaknya. Aku tahu alasannya, dia jelas tak bisa mempertaruhkan hubungannya dengan calon istrinya saat itu, yang adalah putri diplomat atau semacamnya, kalau tak salah? Oh, dan apa aku sudah bilang kalau mereka akhirnya bercerai, karena ia berselingkuh dengan seorang aktris? Ah, belum lagi ada rumor bahwa sebelum pernikahan pertamanya, dia juga dekat dengan seorang anggota girl band. Mungkin kau tahu ini: cewek brengsek yang mengata-ngatai Shindou di media sosial dan membuat mereka putus, padahal sebenarnya dia yang pelakor. Cih, dasar murahan! Dan dia berani menyebut Shindou perempuan jalang? Benar-benar bajingan!"

Akira tidak tahu mana yang lebih mengesankan: kemarahan Ogata karena Hikaru diperlakukan semena-mena, atau fakta bahwa Ogata cukup up to date dengan drama percintaan pemain go yang bahkan bukan anggota Ki-In. Ditambah, bukankah kejadian itu sudah sangat lama? Apakah ia melakukan riset sebelum menghubungi Ko?

Tidak. Masalahnya bukan itu. Fakta bahwa ia sampai mengaitkan latar belakang Cye dengan Ko, hingga bersusah-payah menuntut Ko karenanya, adalah hal yang sangat merisaukan, khususnya bagi Akira. Ah, belum lagi...

"Tadi Ogata-san bilang, Cye-kun pernah menghubungi Ko?"

"Ini hanya spekulasiku saja. Karena kalau tidak, tidak mungkin kan dia bilang 'anak itu lagi'?"

Benar, tapi...

"Kalau Cye-kun mengira Ko Yeong-ha adalah ayahnya, mengapa ia tidak ikut ujian pro di Korea?" tanya Akira, lebih bersifat penyangkalan ketimbang pertanyaan.

Ya, ini adalah permasalahan utama. Berdasarkan informasi yang ia sampaikan sendiri di channel Youtube-nya, jika ia tak salah tangkap, Cye pergi ke Jepang untuk mencari jejak sang ayah. Itu artinya ayahnya adalah orang Jepang, kan? Kecuali jika Hikaru diam-diam mempunyai kekasih lain, hanya dengan menghitung mundur waktu pembuahan Cye, identitas sang ayah seharusnya sudah tak perlu dipertanyakan.

Ogata hanya mengendikkan bahu, yang membuat Akira langsung melompat pada pertanyaan berikutnya.

"Apa ... Ko Yeong-ha sudah memastikan bahwa ia bukan ayah Cye-kun? Melalui ... tes DNA, misalnya?"

"Mana sempat aku tanya hal begituan!" seru Ogata. "Makhluk sial itu sudah membuatku marah, jadi belum-belum aku sudah membanting telepon."

Akira menahan desahannya. Mungkin jauh lebih baik jika ia langsung menghubungi Ko untuk memastikan hal ini? Tapi apa yang harus ia katakan pada Ko? Ogata yang sama sekali tak ada hubungan dengan kasus ini sudah mendesaknya duluan, jika Akira juga menghubunginya, tidakkah Ko akan merasa tersudut? Tidakkah ia akan merasa Hikaru sengaja membocorkan urusan pribadinya untuk mencemarkan nama baiknya? Bagaimana jika ia melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya—membuat kasusnya jadi besar di media sosial atau membuat konferensi pers, misalnya. Tidak, itu terlalu jauh. Lebih mungkin jika ia langsung menghubungi Hikaru dan menuntutnya, bisa jadi malah mempermasalahkannya lewat jalur hukum. Meski harus Akira akui, membesar-besarkan masalah ini di media sosial untuk mendiskreditkan Hikaru bukan hal yang terlalu rendah dilakukan orang itu. Bukankah ia pernah melakukannya dulu?

Lagipula, apa dampaknya bagi banyak pihak jika kasus ini jadi besar? Tak hanya nama baik Hikaru dan Cye yang akan tercemar, hubungan asosiasi go kedua negara juga dipertaruhkan. Mungkin lagi-lagi terlalu jauh jika ia mengkhawatirkan hal ini, tapi Ko punya dan kedudukan yang sangat penting di Korea Selatan. Bagaimana jika kasus ini membuat para sponsor pertandingan menarik dukungannya? Lagipula, satu saat nanti, Cye pasti akan berhubungan dengannya dalam kerangka profesional (itu jika ia berpikir positif bahwa masih ada kesempatan bagi Cye untuk melanjutkan karir di dunia profesional). Apa jadinya, jika ia sudah keburu antipati dengan Cye?

Mungkin jauh lebih baik jika ia mengatakan dengan jujur pada Ko mengenai alasan ia perlu meminta kejelasan status hubungan darahnya dengan Cye. Tapi jika ia mengatakan itu, bukankah sama artinya dengan menjustifikasi anggapan buruk Ko terhadap Hikaru?

Akira mengutuk dirinya di umur 17 yang tolol dan tidak bisa menahan diri. Bahkan walaupun Hikaru sendiri yang meminta, tidakkah seharusnya ia tak semudah itu menyerahkan diri pada kehendak gadis itu? Dipikir-pikir, Hikaru baru putus dari Ko saat itu—ia mungkin masih depresi dan tidak memikirkan segala sesuatunya dengan matang. Ia hanya membutuhkan sedikit perhatian dan kehangatan—dan Akira, Akira dengan bodohnya tidak hanya memanfaatkan kesepian Hikaru untuk mendapatkan cintanya, tapi juga berani menjamah tubuhnya? Sebrengsek apa sebenarnya ia?

Mungkinkah sebenarnya Hikaru tidak mencintainya? Mungkinkah ia menyesal? Apa itu alasannya pergi? Apa itu alasannya setelah sekian lama masih mendendam dan membencinya? Apa itu alasannya tidak mengatakan kebenaran ini pada Cye?

Jelas. Akira tidak ada di sampingnya selama 14 tahun. Ia harus membesarkan Cye sendirian, menanggung semua tudingan orang sendirian. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Hikaru harus menghadapi orangtuanya, ketika ia mengabarkan hal ini. Mungkin itu juga alasannya kabur ke US—menghindari tudingan orang, menghindari tatapan sinis orang...

Astaga, jika memang itu adalah kesalahannya, maka ia jugalah yang menyebabkan karir Hikaru di dunia profesional hancur. Hikaru sangat mencintai go, dia lebih mencintai go daripada apapun... Apakah ia tidak kembali, karena kebenciannya pada Akira mengalahkan cintanya pada go?

Oh Kami, seandainya saja ia menunggu... Seandainya saja ia tidak menyatakan cintanya pada Hikaru saat itu... Seandainya saja ia cukup bersabar untuk ada di sisi Hikaru sebagai sahabat, sebagai tempat bersandar, sebagai tempat berkeluh kesah... Jika itu yang ia lakukan, mungkin Hikaru tak perlu pergi. Jika ia menahan diri, mungkin semua tak perlu terjadi. Jika ia tidak, jika mereka tidak...

"...ra, Akira? Bernapas, Akira. Ikuti aku, oke? Tarik, tahan, buang... Tarik, tahan, buang..."

Baru ia sadari, begitu suara itu memasuki kesadarannya, bahwa dunia di sekitarnya menyusut dan menekannya hingga ia tak bisa bernapas. Panik meraja seketika, namun ia masih bisa mengendalikan pikirannya untuk memaksa tubuhnya mengikuti suara itu. Perlahan, seiring dengan aliran udara yang memasuki rongga paru-parunya, rasa sesak yang menghimpit dadanya memudar. Segala sesuatu kembali mewujud di hadapannya. Ia bisa mendengar napasnya sendiri. Ia merasakan tangannya yang mengepal, biji go di genggaman tangannya, tangan seseorang mencengkeram bahunya, wajah Ogata di hadapannya, memandangnya dengan tatapan khawatir.

"Kau tak apa?" tanyanya setelah beberapa lama, dan Akira sudah dapat bernapas normal. "Apa kau perlu ke rumah sakit?"

Akira menegakkan punggungnya, menarik napas panjang. "Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih, Ogata-san."

Pria itu menarik tangannya dan kembali ke tempat duduknya, tapi wajahnya masih tampak khawatir. "Maaf, seharusnya aku tidak membicarakan Shindou."

"Tidak, tidak apa-apa," Akira merogoh sakunya, mengeluarkan botol obat yang selalu ia bawa ke mana-mana. "A-aku ... aku yang menghubungi Ogata-san duluan untuk urusan ini."

Tanpa perlu diminta, Ogata lekas bangkit dan pergi ke konter minuman dan kembali dengan segelas air. Ia menerima gelas itu dengan tangan gemetar, berusaha keras untuk tak menjatuhkan atau menumpahkan isinya, lantas menegak sebutir pil di bawah mata elang Ogata yang mengawasi setiap gerak-geriknya.

"Akira," kata Ogata setelah beberapa lama, dan ia sudah tak merasakan lagi gemetar di seluruh tubuhnya atau rasa sesak yang menghimpit dadanya. "Setelah kupikir-pikir, kurasa kau tak perlu campur tangan dalam urusan Cye."

"Apa maksud Ogata-san?"

"Aku tahu si bodoh Matsuzaka menyuruhmu bicara pada Shindou, supaya dia menarik tuntutan pemecatan Cye, kan? Kukatakan ya, itu bukan urusanmu sama sekali."

"Tapi Cye muridku..."

"Cye baru menjadi muridmu setelah jadi pro, kesalahan apapun yang ia lakukan sebelumnya bukan tanggung jawabmu. Sial, bahkan kalaupun ia melakukannya setelah menjadi muridmu, itu tetap bukan tanggung jawabmu. Cye belum dewasa, Shindou punya kewenangan hukum penuh atasnya. Jika ia tak mau putranya jadi pro, kita tidak bisa apa-apa."

"Tapi Cye sangat potensial..."

"Dan dia juga masih sangat muda, kesempatan untuknya masuk ke dunia pro masih sangat banyak. Oke, taruhlah tahun ini kita mendiskualifikasinya. Kita bisa memecatnya atau mengganti posisinya dengan peringkat keempat, tak masalah. Bukan berarti ia tidak boleh ikut ujian lagi lain waktu, kan? Sementara itu, biarkan dia mengatasi masalahnya dengan ibunya. Atau ayahnya. Apapunlah. Huh, masalah bocah ini amat rumit... Kalau kita memaksakan diri merekrutnya sekarang, yang ada malah kita yang repot."

"Tapi..."

"Akira," Ogata menggeser duduknya, memegang bahu Akira dan memaksanya melihat matanya. "Masalah Cye dan Shindou sama sekali bukan urusanmu. Mengerti?"

Tak bisa tidak, Akira membuang muka. Bagaimana mungkin hal ini bukan urusannya? Bagaimana mungkin ia menutup mata dari hal ini?

"Ogata-san, kau yang mempertemukanku dengan Cye-kun," ia mengingatkan. "Pasti saat itu kau melihat sesuatu darinya, kan? Kurasa ini adalah takdir..."

"Tidak," sergah Ogata cepat. "Itu dan ini adalah dua persoalan yang sama sekali berbeda."

"Berbeda apa?"

"Akira, dengar," Ogata mendadak berubah serius. "Aku tahu, aku yang mendorongmu pada Cye. Tapi sungguh, saat itu aku tidak menduga masalahnya akan sampai seperti ini."

"Apa sebenarnya maksud Ogata-san?"

"Akira," ia menarik napas panjang sebelum bicara hati-hati, "Aku tahu, bahwa kau senang Shindou kembali. Tapi juga tahu, kau menjadikan masalah Cye sebagai cara untuk mendapatkannya kembali. Aku bisa mengerti. Sayangnya dia sudah tidak seperti dulu lagi, kau sudah tidak seperti dulu lagi. Kau sudah berkeluarga, Akira, tolong jangan lupa itu."

Implikasi kalimat terakhir, bagaimanapun, terasa bak tuduhan. "Bagaimana mungkin Ogata-san bilang begitu?" serunya. "Aku tidak punya maksud lain pada Shindou!"

Ogata tak langsung menjawab, hanya menatap ke kedalaman mata Akira. Tuduhan dan kecurigaan adalah hal yang wajar di balik tatapannya yang penuh selidik, tapi di balik itu tak urung Akira merasakan yang lain. Apa itu? Kekhawatiran? Belas kasihan?

"Akira, aku akan terus terang saja," ujarnya kemudian. "Masalah dengan Shindou ini ... aku takut justru akan merusak dirimu. Kalau kau tidak mau berpikir tentang Hanako, tentang Hikaru dan Hikari, coba pikirkan dirimu sendiri. Pikirkan apa yang telah kaulalui, pikirkan usahamu untuk melewatinya. Kau telah berjalan begitu panjang...," ia melepaskan pandangannya dari Akira hanya untuk meraih biji go dari goke mempermainkannya di antara jemarinya. "Masa lalu adalah masa lalu, Akira..."

Ia meletakkan bijinya di titik penentuan. Sekilas Akira melirik pada susunan formasi batu hitam dan putih di atas goban. Tak ada jalan keluar, sama sekali tak ada jalan keluar...

Namun Akira menolak untuk menyerah, tidak sedini ini. Menganalisis kembali isi goban, ia melipatgandakan tekadnya untuk mencari celah dan menyerang. Ia pasti bisa. Bukankah ia selalu bisa?

.


.

Minggu, seperti biasa, adalah jadwalnya untuk mengisi terapi go di RS Tokyo Metropolitan Matsuzawa. Jadi setelah main go di salon bersama Ogata, ia tidak menolak tawaran pria itu untuk mengantarnya ke Setagaya. Ogata tampak agak khawatir, ia bahkan menawarkan untuk menunggu Akira selesai agar bisa mengantarnya pulang, tapi untuk urusan satu ini, Akira menolak. Bukan karena ia tidak mau ditemani, masalahnya Ogata kelihatan benar sudah ada janji lain—ia berulang kali melihat ponselnya, bahkan ada saat ketika ia pamit dari Akira untuk bicara di ponsel, dan kembali dengan wajah agak kusut—jadi mana mungkin Akira tega menyusahkannya lebih jauh? Lagipula, jadwal mengisi terapi seharusnya adalah kesempatan baginya untuk melepaskan ketegangan. Terus terang saja, walaupun Ogata adalah orang yang tahu segala seluk beluk tentangnya dan masalah psikologisnya, kadang ia justru merasa tak bisa sepenuhnya menjadi diri sendiri di hadapan kakak seperguruannya itu.

Sayangnya, pada hari itu sang dokter yang biasanya menemaninya (dan sering menjadi tempatnya curhat di luar sesi terapi resmi) berhalangan hadir, sedangkan ia tidak begitu mengenal dokter penggantinya. Akira bukan orang yang begitu mudah membuka diri pada orang lain, apalagi orang baru, sehingga walaupun perasaan entah-apa sudah menumpuk di dadanya, ia memilih menelannya sendiri.

Begitu ingin ia langsung meluncur ke hotel tempat Hikaru menetap, sepulangnya dari Setagaya. Sayangnya, ia tak punya rencana. Sama sekali tak punya rencana. Benar kata Ogata, seperti juga disadarinya dari penolakan Hikaru kemarin: semua sudah berbeda kini. Kehadirannya di hadapan Hikaru boleh jadi hanya akan memperunyam suasana, dan jelas tidak akan membawanya ke mana-mana dalam urusan Cye.

Dengan sangat menyesal, Akira hanya bisa diam sementara waktu ini. Diam juga adalah sebuah langkah, bukan? Mungkin jika ia menunggu panas Hikaru sedikit reda, satu saat nanti akan datang kesempatan yang lebih baik.

Sayangnya, kesempatan itu pun terenggut darinya. Malam itu, ketika mengecek ponsel selepas makan malam, terkejutlah Akira menyadari keberadaan email baru di inbox-nya.

To: Touya Akira

From: SainoItte

Subject: Maaf

Shishou, maaf baru menghubungi.

Saya benar-benar malu dan menyesal untuk apa yang sudah saya lakukan. Saya memang melakukannya karena terpaksa, tapi saya tahu itu tidak benar dan tidak ada alasan yang dapat menjustifikasi tindakan saya. Pihak Ki-In mengatakan akan meninjau kasus saya, tetapi setelah berkontemplasi, saya sadar kecurangan yang saya lakukan berarti pula bahwa saya telah mengkhianati go. Saya tak pantas menjadi seorang profesional, lebih lagi menjadi murid Anda. Karena itu, saya akan mundur dan kembali ke US.

Meski sebentar, saya merasa beruntung telah bertemu Anda. Terima kasih banyak, Shishou, dan mohon maafkan saya.

Salam,

Cye Rayleigh

Dada Akira berdebar keras begitu membaca email tersebut. Ia sama sekali tidak mempertanyakan cara Cye menemukan alamat emailnya—itu adalah alamat email untuk urusan pekerjaan dengan domain Ki-in, tidak butuh kemampuan hacking apapun untuk dapat mengetahuinya. Yang ia pertanyakan adalah justru … apa sesungguhnya yang ia pertanyakan? Waktu pengirimannya? Cara ia mengutarakannya? Isinya?

Semua itu wajar, jika menimbang semua yang terjadi. Tapi tak urung, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal.

Dengan tangan bergetar, Akira membalas email tersebut.

To: SainoItte

From: Touya Akira

Subject: Re: Maaf

Cye,

Aku tidak bisa membenarkan apa yang kauperbuat, tapi aku bisa mengerti alasanmu melakukannya. Siapapun pernah berbuat salah, tolong jangan menghukum dirimu begitu berat. Kau masih sangat muda, aku yakin kau memiliki begitu banyak potensi, sangat disayangkan jika kau pergi karena urusan ini.

Masalah ini ada solusinya. Aku bisa menjadi jembatan antara dirimu dan Ki-In. Jangan biarkan ini mempengaruhi masa depanmu, kumohon.

Tolong sampaikan pada ibumu, aku ingin segalanya kembali ke jalur yang semestinya. Aku ingin bertanggungjawab. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua.

Aku benar-benar bersyukur bertemu kalian. Kumohon, beri aku kesempatan.

Akira

Apakah ia terdengar begitu putus asa? Tapi ia tak hendak memikirkan kata per kata, karena kalau begitu jadinya, bisa-bisa ia tidak mengirim apapun hingga subuh. Tanpa membaca lagi isi balasannya, ia pun menekan tombol kirim.

Balasan dari Cye tak kunjung datang. Tak bisa tidak, Akira membuka kembali email tadi, membaca kembali isinya, membaca ulang jawabannya dan menganalisis kata per kata. Apa mungkin ada sesuatu yang salah dari jawaban yang ia berikan? Apakah itu justru membuat Cye merasa tertekan? Ataukah akhirnya ia merasa semua ini tak layak diperjuangkan, dan merasa bahwa segala yang ditawarkan di kehidupannya semula masih jauh lebih baik?

Akira masih menatap layar ponselnya, ketika Hanako memasuki kamar selepas merapikan sisa makan malam. Tak tahu kenapa, Akira buru-buru mematikan ponselnya, mengambil buku dari rak asal saja, dan pura-pura membaca. Detik ia melakukannya, detik itu pula ia merasa konyol—mengapa ia harus menyembunyikan ini dari istrinya? Apa memang yang salah? Apa memang yang harus disembunyikan? Tak hendak menganalisis hal itu juga, ia pun mengangkat kepala dari buku di tangannya dan menatap istrinya, memberi senyum yang ia harap kelihatan tulus.

Jika sang istri mencurigai ada sesuatu yang salah dari hal itu, ia tidak mengatakannya.

.

Tengah malam, Akira terbangun oleh pesan masuk di aplikasi chat-nya. Biasanya ia selalu memasang nada dering di ponselnya ke mode getar pada malam hari, karena Hanako sering mengeluh jika ada suara dering telepon mengganggu malam-malam. Melirik sekilas ke futon di sisinya, Akira menangkap sang istri mengerang kecil dan berguling memunggunginya, tapi tidak terbangun. Dalam hati Akira bersyukur untuk apapun yang dilakukan Hanako hari ini, karena sepertinya itu membuatnya cukup lelah untuk tetap tidur. Perlahan, berusaha tidak membangunkan istrinya, ia membuka ponsel dan melihat daftar pesan masuk. Nomor Cye rupanya.

Cye (00.36)

Mom menyita ponselku. Aku sembunyi-sembunyi mengambilnya.

Shishou, tolong aku. Maafkan kebodohanku. Aku berjanji akan menjadi murid yang baik dan penurut, apapun asal aku bisa tetap di Jepang.

Kami akan berangkat pagi ini, pukul 7. Penerbangan no 403 ke LAX

Pesan itu hanya bertahan tak sampai semenit, karena berikutnya semua pesan itu dihapus dengan sengaja. Kelihatannya Cye mengembalikan ponselnya ke entah-manapun Hikaru menyembunyikannya, dan berniat menghapus jejak. Atau bisa jadi Hikaru menangkapnya sedang mengirim pesan, lantas langsung merebut ponselnya dan menghapus pesannya.

Tunggu, apa artinya itu? Isi chat ini sama sekali berbeda dengan email yang masuk sebelumnya. Apakah itu berarti … bukan Cye yang mengirimkan email tersebut?

Cye membutuhkan ia, demikian pikir Akira. Maka, apalah daya Akira untuk menolaknya?

.


.