Jian Ye. 235 AD.

"Kerja bagus, Zhu Yue!" Sebuah suara yang tidak familiar terdengar persis di belakangku. Aku segera menoleh, itu Kaisar Sun Quan! Ah, aku sungguh merasa tidak percaya diri ketika dia melihatku berlatih memanah.

"Kamu benar-benar mewarisi bakatnya, tidak heran kalau bakat memanahmu memang luar biasa!" Pemimpin Kerajaan Wu itu tersenyum hangat. Aku sedikit banyak merasa senang ketika Kaisar Sun Quan datang di saat yang tepat, saat aku berhasil mengalahkan Lu Feng dalam latihan ini. Lihat, pemuda itu kini terlihat kesal dikalahkan oleh seorang gadis.

Dan apa katanya tadi? Mewarisi bakat? Tentu saja. Aku merasa bangga dalam hati. Aku putri semata wayang Jendral Zhu Ran, pemanah terbaik yang pernah dimiliki Wu. Tidak heran kalau aku mewarisi bakatnya.

Hari ini, aku berlatih bersama Papa dan teman-teman di hutan seperti biasa. Namun aku tidak menyangka akan ada Kaisar Sun Quan juga disini. Kupikir ia sedang menikmati sore di istana. Ini kali pertama dia melihatku berlatih dan memujinya.

Terkadang, aku tidak hanya berlatih bersama Papa. Sesekali Lu Feng dan Ling Zhao ikut bersama kami. Mereka mengajariku cara menggunakan tombak. Keduanya adalah putra dari sahabat ayah, Jendral Ling Tong dan salah satu strategis Wu, Lu Xun. Menjadi satu-satunya wanita yang berlatih bersama sekumpulan lelaki terkadang sulit, karena banyaknya cibiran yang dikatakan orang tentangku.

Tapi hei, aku sudah berumur 19 tahun! Aku bahkan sudah pernah ikut perang satu kali. Kenapa orang-orang ini selalu mendiskriminasiku hanya gara-gara aku wanita? Ini tidak adil! Untungnya, aku mempunyai Papa yang selalu membesarkan hatiku. Papa sering berkata aku gadis yang keras kepala, tapi bukan berarti itu buruk. Begitu juga dengan Lu Feng dan Ling Zhao. Bahkan Kaisar Sun Quan tidak terlihat keberatan dengan adanya petarung wanita di Wu.

Kami bertiga tidak terpisahkan. Faktor utamanya tentu adalah usia, dimana kami tumbuh bersama sejak kecil dan aku yang paling tua. Aku dikenal berkat bahkat memanahku. Tentu saja, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Berbeda dengan Lu Feng, yang sama sekali tidak mirip dengan Paman Lu Xun yang begitu tenang dan pintar. Lu Feng yang kemarin baru saja menginjak usia 17 tahun lebih terlihat seperti ibunya, Putri Sun Shi yang banyak bicara dan bertindak tanpa berpikir. Sedangkan Ling Zhao, anak itu tenang sekali. Terkadang aku pikir dia itu bisu. Tapi kemampuannya mengatur strategi memang mengagumkan. Selain itu ia juga mahir dalam menggunakan pedang. Kadang aku curiga Ling Zhao dan Lu Feng adalah anak yang tertukar melihat bagaimana ayah mereka. Sebagai pemuda berusia 17 tahun, Ling Zhao bahkan sudah mendapatkan hati Kaisar Sun Quan dan beberapa kali ikut berperang. Kadang aku iri padanya. Hanya karena aku wanita, aku baru diperbolehkan ikut perang setelah berusia 18 keatas. Itupun hanya satu kali. Sama sekali tidak seru.

"Yang Mulia!" Aku, Ling Zhao dan Lu Feng segera mengepalkan tangan memberi hormat kepadanya. Kaisar Sun Quan tertawa hangat.

"Tidak perlu sekaku itu, anak-anak. Aku hanya sedang berjalan-jalan sambil melihat kemajuan para pasukanku."

Kaisar Sun Quan ini. Meskipun sudah berumur, namun karismanya memang luar biasa. Tidak heran ia begitu disegani. Papa pernah bercerita, bahwa dulu Kaisar Sun Quan amat tidak percaya diri untuk memimpin Wu setelah Kaisar Sun Ce meninggal. Tapi lihatlah, Wu berjalan dengan sangat baik dibawah kepemimpinannya. Aku berharap dia berumur panjang.

"Zhu Ran, pastikan sebelum gelap anak-anak ini sudah kembali ke istana." Begitu ucap Kaisar Sun Quan sebelum ia dan beberapa prajurit yang mengawalnya berlalu.

"Kau selalu bisa mengandalkanku, Yang Mulia." Papa tersenyum, sebelum kembali menoleh ke arahku. "Baik, Zhu Yue dan Lu Feng. Kalian boleh beristirahat. Sebentar lagi kita akan kembali ke istana."

"Ahhh, syukurlah!" seru Lu Feng. "Paman, latihan hari ini sungguh melelahkan. Kenapa kau hari ini begitu keras pada kami? Latihan selama lebih dari 8 jam dan aku belum makan sejak pagi!"

"Diamlah Lu Feng, di istana juga kita akan makan," potong Ling Zhao, membereskan senjata-senjata kami. "Kau sudah mengeluh seratus kali dan aku lelah mendengarnya."

"Tidak ada protes, Lu Feng." Papa berkata tegas. Aku selalu suka melihat Papa bersikap tegas. Padahal dulu Paman Ling Tong pernah bercerita kalau saat muda Papa adalah orang yang sangat ceria dan labil. Aku percaya, karena kalau sedang gembira, Papa lebih terlihat seperti pemuda berusia 20 an daripada pria yang usianya hampir setengah abad.

"Shu dan pemimpinnya yang tidak becus Liu Shan itu tidak pernah jera. Bisa-bisanya mereka menantang perang di Lu Kou! Setelah Zhuge Liang tewas beberapa tahun lalu, tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk menang! Jiang Wei bukan ancaman," celoteh Lu Feng.

"Benar, tapi ayahmu tetap memikirkan strategi dengan sangat matang. Aku heran kenapa kau tidak sedikitpun mirip dengannya." Aku menjawab. Lu Feng cemberut. Ini mungkin kali keseribu ia dibandingkan dengan ayahnya.

"Tapi tidak perlu gusar Nak, Ling Zhao akan menggantikan ayahmu di masa depan. Sementara kau akan tumbuh menjadi Jendral yang hebat, seperti kakekmu." Papa melanjutkan, membesarkan hati Lu Feng. Papa selalu seperti itu. Aku tidak pernah bertemu dengan Kaisar Sun Ce sebelumnya, namun berdasarkan cerita-cerita yang pernah kudengar, sepertinya tabiatnya memang mirip dengan Lu Feng.

"Paman Zhu Ran benar! Meskipun tidak pintar, aku juga berbakat!" Lu Feng membela diri. Aku dan Ling Zhao hanya tertawa menanggapinya, kemudian kami bersama-sama kembali ke istana.


Besok lusa Shu akan menyerang Wu di kota Lu Kou. Sepertinya Kaisar mereka yang bodoh itu masih ingin sekali membuat kami menyerah. Hah, mimpi saja. Mendengar hal ini, Papa mulai mengajariku beberapa hal tentang tentang serangan api. Aku sudah dengar. Papa sangat terkenal dengan serangan apinya, terutama saat pertarungan di Yi Ling 13 tahun yang lalu. Berkat serangan api dari Papa, Wu memenangkan pertarungan itu. Di tahun itu, aku masih berumur 7 tahun.

"Karena kamu memaksa ikut perang, Yue, kamu akan bersama Papa. Pelajarilah bagaimana cara menyerang musuh dengan api."

"Baik, Papa. Kelak kau akan melihat putri tunggalmu ini menjadi penggantimu."

Papa tersenyum sebentar. "Papa sangat bangga padamu, Zhu Yue. Kau gadis yang kuat. Papa sangat yakin kau bisa menjadi Jendral yang hebat di masa depan," katanya sambil mengacak-acak rambut coklatku yang panjangnya sepunggung itu.

"Tentu saja. Akan kubuktikan pada mereka yang suka meremehkanku hanya karena aku wanita!" aku berapi-api. Memang jengkel sekali rasanya ketika kemampuanku diremehkan.

"Yue, sebentar lagi usiamu menginjak 20 tahun." Papa tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan. Tidak hanya itu, aku juga dapat melihat sorot kecewa di matanya. Hei, apa-apaan itu? Ia harusnya senang melihat putrinya tumbuh. Papa ini, kadang memang ia begitu sentimental dan tidak bisa ditebak. Aku kadang melihatnya menangis di tengah malam. Tapi aku tidak pernah menanyakannya. Mungkin, Papa rindu dengan Mama.

Yah, Mama memang meninggalkan kita sejak usiaku 2 tahun. Aku sebenarnya ingin sekali tahu tentangnya, tapi minim sekali informasi yang aku tahu tentangnya. Hal yang kutahu tentangnya hanyalah namanya, Xia yang aku tahu artinya adalah ceria. Apakah Mama adalah orang yang ceria? Sungguh aku ingin thu lebih dalam, tapi Papa sangat sensitif dengan topik ini. Pada siapa lagi aku harus bertanya? Sepertinya hanya Papa anggota keluargaku yang tersisa, mengingat dari cerita Papa, keluarga Mama sudah meninggal ketika Wei menyerang Wu di He Fei beberapa tahun yang lalu.

"Kau bukan anak-anak lagi Zhu Yue. Papa harap, kamu dapat menyikapi hal-hal yang akan datang dengan dewasa." Setelah mengatakan itu, Papa sekali lagi mengacak rambutku dan beranjak ke kamarnya. "Selamat malam, Putriku."

Apa maksudnya itu?