With the moon and the stars above

I know I belong to you somehow


Gaius tertegun sejenak, sementara Micah sendiri juga tak sadar apa yang baru saja ia ucapkan, meski netranya sedikit harap-harap cemas menanti sang dwarf memberikan jawaban.

"Kau tahu, kau tak perlu menjawabnya, aku bercanda," ucap Micah lagi setelah mendapati Gaius masih saja tak menjawab.

Helaian abu kebiru-biruan itu menggeleng. "Boleh saja, French kiss?"

Semburat merah langsung muncul di wajah Micah tanpa diperintah. Tanpa ada jeda sedikitpun, ia segera membalas cepat, "Mana ada, bodoh! Kecupan biasa!"

"Haha, aku tahu kau Micah." Gaius menatapnya lembut sebelum memejamkan kedua matanya. "Nah, ayo. Kalau begini, kesannya sangat romantis, 'kan."

Micah terdiam sejenak. Ah, ia ingin menangis, menyadari betapa besar perasaan sukanya pada Gaius—cinta, mungkin. Namun hatinya mencelos ketika ingat bahwa cintanya itu terlarang, tak diharapkan, bahkan harusnya tak ada.

Sejatinya, laki-laki itu memang ditakdirkan untuk mencintai seorang wanita, lalu hidup bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak ada yang bisa menyangkal hal itu, apalagi dirinya, yang hanya seorang manusia setengah monster. Ia bahkan yakin, sebanyak apapun dia berdoa kepada Dewa, cintanya itu tidak akan direstui. Kalaupun ia memaksa, pasti akan ada konsekuensinya, yang nanti juga akan berefek kepada Gaius.

Dan ia tak menyukai ide itu.

"…um, kau tak jadi menciumku, Mic? Aku mulai canggung di sini."

Micah terkekeh pelan. "Persiapan dulu, duh."

Kemudian dengan perlahan, Micah membungkukkan badannya, mendekati wajah Gaius yang tengah berbaring. Kepalanya dimiringkan sedikit, lalu mengecup pemuda dwarf itu tepat di bibir, membuat jantungnya berdegup dengan lebih kencang.

Lembut, dan juga hangat. Micah ingat sensasi ini saat Gaius pertama kali menciumnya dengan dasar iseng. Rasanya lucu juga, padahal tadi siang, mereka saling berjanji lisan kalau tidak akan melakukan hal seperti ini lagi.

Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya Micah yang pertama kali memutus ciuman itu, membuat Gaius membuka matanya. Micah tersentak, mendapati Gaius tersenyum hangat padanya sembari mengulurkan tangan demi mengelus pipi Micah.

"Kau tahu, terkadang aku sangat bersyukur saat domba emas itu jatuh di tengah hujan badai."

Lagi-lagi, Micah tak bisa apa-apa selain jatuh makin dalam pada Gaius. Pemuda itu terlalu manis dan menakjubkan jika harus dibandingkan dengan dirinya. Ia hanya seseorang yang amnesia, yang tak bisa memikul harapan orang lain, yang bahkan tidak bisa mencintai seorang hawa.

Katakan, Micah bisa apa?

Air matanya lantas turun tanpa konfirmasi dengan otak, menetes langsung mengenai pipi Gaius yang berada di bawahnya. Gaius tertegun dan langsung mengambil posisi duduk, memegang kedua sisi pundak Micah.

"Ada apa, Mic? Kenapa kau menangis?"


I should have found another way

To tell you that I love you.

I don't know why I took it for granted

With you by my side.


"Ga-Gaius," Micah berucap dengan sedikit terbata-bata. Ia mengusap air matanya agar tak membasahi wajahnya, namun tetap saja air mata itu mengalir dengan bebasnya. Maka Micah langsung memalingkan wajahnya ke arah dan berkata, "To-tolong jangan lihat aku."

"Hei, Mic," Gaius memanggil namanya lembut, dengan salah satu tangannya menghapus air mata Micah, membuat sang empunya wajah menengok kembali. "Katakan kenapa kau menangis."

Namun perintah Gaius barusan justru kian membuat tangisan Micah mengucur deras.


Cry,

Then I have come to realize


Pagi yang mendung bukan masalah untuk Gaius. Toh, dia hanya kerja dekat perapian, membakar beberapa platinum atau besi untuk dijadikan senjata sesuai pesanan. Lagipula kalaupun nantinya akan hujan dan membuat suhu menjadi dingin, api dari pembakaran tetap bisa membuatnya hangat.

Setelah menghabiskan semangkuk udon buatan Raven, Gaius berjalan menuruni tangga, mendapati sosok berambut merah tengah membereskan beberapa stok aksesoris buatannya. Ia mendekati Raven ketika gadis itu tiba-tiba memperlihatkan sebuah kotak kecil dan menaruhnya di atas meja.

Hei, tunggu, kotak itu nampak seperti—

"Cincin tunangan?"

Raven mengangguk pelan. Ekspresinya yang biasanya sekeras batu itu lantas menghangat dengan senyuman kecil terbentuk di wajahnya, "Tebak siapa yang memesan?"

"Evelyn? Apakah dia mau melamarku?" tanya Gaius bercanda sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku mau, sih, tapi bukannya ini terlalu cepat—"

"Sembarangan," Raven memotongnya cepat. Senyuman gadis phoenix itu sekarang sudah kembali seperti biasa. "Micah yang pesan. Aku rasa dia akan segera melamar orang yang selama ini disukainya."

Gaius tersentak, lalu menatap Raven lekat-lekat. "Serius? Kau dengar dari siapa? Bukan dari kelompok gosipmu—si Karina dan Sofia itu, 'kan?"

"Kami bukan penggosip!" Raven memukul pelan kepala Gaius dengan kotak cincin yang berada di tangannya. "Aku dengar dari Kuruna, dia menguping pembicaraan Ondorus dan Micah."

"Sungguh? Wah, aku sangat terkejut!" seru Gaius.

"Setuju." Raven membuang napasnya kasar. "Aku juga kaget Micah akan segera menikah."

"Bukan itu. Aku kaget Kuruna doyan menguping."


Gaius menopang dagunya dengan tangan di atas meja, menatap kosong ke arah pintu toko yang masih saja belum dibuka oleh pengunjung sedari pagi. Setelah perdebatan kecilnya dengan Raven, gadis itu bilang kalau dia akan pergi ke Sharance Tree untuk mengantarkan cincin kepada Micah. Namun saat Gaius dengan senang hati menawarkan dirinya, Raven langsung menolak. Kata Micah, ia ingin Raven mengantarkan langsung kepadanya—karena beberapa alasan, Micah sibuk dan tak bisa keluar rumah.

Setelah mengela napas sembarang, Gaius jadi merenung. Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian Micah menangis di Star Dunes. Sudah seminggu pula ia tak berjumpa dengan domba emas kesayangannya itu—klaim sepihak Gaius.

Micah mulai kembali tak menampakkan dirinya sejak hari itu. Awalnya Gaius kira Micah menghabiskan waktunya dengan Ondorus atau semacamnya, namun ternyata tidak. Kemarin ia sudah mendatangi Ondorus dan menanyakan perihal tersebut. Pria bertanduk satu (lucu juga Gaius menyebutnya seperti tanduk sapi) itu menjawab bahwa Micah sama sekali tak mendatanginya selama beberapa hari belakangan.

Ia cuma ingin bertanya tentang alasan kenapa Micah menangis malam itu. Apakah salahnya? Apakah karena mereka berciuman lagi? Tetapi, kan—itu Micah yang minta! Gaius lepas tangan masalah itu.

Lantas ketika Raven memberi tahunya tentang cincin tunangan pesanan Micah, Gaius mengambil asumsi kalau pemuda domba itu sedang galau. Kalau begitu, berarti dugaannya seminggu lalu itu benar—Shara menyatakan cinta pada Micah! Tak salah lagi.

Gaius memutuskan akan mendatangi Micah hari ini juga, hendak protes atas banyak hal. Pertama, Micah yang tiba-tiba menangis dan tak mau menceritakan alasannya. Kedua, Micah berbohong tentang pernyataan cinta Shara. Ketiga, Micah tidak memberitahukannya tentang lamaran ini. Keempat, Gaius mau meminta porsi prasmanan terbanyak.

"Ah, kenapa ya, aku merasa sedih," gumam Gaius pelan sebelum membaringkan kepalanya di atas meja. Ia merasa sangat mengantuk dan tidak butuh waktu lama sampai ia memejamkan matanya—tertidur.


TBC


A/N : Ah, berhubung masih ada stok cerita, jadi publish aja langsung hehe. Chapter kali ini ga ada revisi atau baca ulang sama sekali, jadi kalau semisal ada kesalahan tulis, typo, alur ga jelas, character development yang amburadul, dsb., tolong dengan harap kritiknya di kolom review.

Terimakasih banyak.