Aku Jeon Jeongguk. Aku merindukan Taeby dan si little Jeon anak kami. Dua tahun sudah kami berpisah. Bukan bercerai, melainkan hanya sekadar menenangkan diri untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Aku tak tahu apa yang dirasakan Taeby di sana. Yang jelas, sedari awal aku memang sudah menyukainya. Bahkan sejak masih menjadi mahasiswa baru. Aku sudah menaruh perasaan pada lelaki ramping itu. Aku melakukan segala cara untuk mengejarnya. Saat insiden itu, aku tak melakukannya dengan sengaja. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan diriku. Aku saat itu merasa bersalah. Itu kali pertamaku melihatnya meneteskan airmata dengan pandangan sangat terluka.

Saat video itu menyebar, seantero kampus dan lingkungan sekitarnya menjadi tak terkendali. Aku marah dan kesal. Tapi jujur saja, tak ada niatan untuk melimpahkan semua itu pada Taeby. Aku ingin memeluknya, tapi otakku memerintahkan sebaliknya. Begitupun saat melihatnya lolos menjadi model kampus. Sama sekali tak pernah terbersit di kepalaku rasa dengki karena kalah. Tujuanku mengikuti itu semata-mata agar bisa melihatnya dari dekat dan berharap bisa bertegur sapa barang sedetik. Namun, lagi-lagi, otakku melakukan hal sebaliknya. Aku menyakitinya berulang kali. Aku bahkan menjadi mimpi buruknya.

Alasan kenapa aku selalu berusaha menghindarinya, berusaha tak berpapasan dengannya, bahkan tak pulang ke rumah hanyalah untuk mencegah hatinya terluka lebih dalam. Karena setiap kali melihatnya setelah menikah, bukannya senang aku malah menjadi marah dan emosional. Terlebih aku selalu melihat penyesalan yang terpancar dari bola matanya yang dulu bersinar paling cantik.

Puncaknya saat aku tahu bahwa dirinya masih berhubungan dengan Jimin, kekasihnya dulu. Tiap kali aku mengingat kebersamaan mereka, hatiku terasa seperti api yang membakar dan melahap rumah dalam hitungan jam saja. Aku mendidih. Aku melihatnya hangout di belakangku bahkan tanpa mengantongi izin dariku. Saat aku melihat mereka berhenti di depan rumah, aku mengetahuinya. Aku membuntuti mereka sedari Taeby keluar rumah pagi itu. Sesaat sebelum masuk rumah, aku menatap Jimin dengan sengit. Aku tak peduli padanya. Aku hanya ingin melindungi apa yang menjadi milikku.

Pikiranku kacau. Aku ingin memeluknya tapi aku tak ingin melihatnya karena aku tahu aku hanya akan menyakitinya lebih dan lebih. Tapi lagi-lagi otakku berkhianat dan memilih datang melihatnya. Pada akhirnya aku menyakitinya. Hampir saja semua jadi fatal. Hampir saja aku kehilangan calon anak kami atas penyakit mentalku ini.

Betul. Kami menyembunyikan sesuatu yang sama-sama ingin kami tutupi seumur hidup kami. Taeby memiliki kelainan dalam sistem reproduksinya dan aku dengan kepribadian gandaku. Ya, aku tahu karena suatu waktu, ayahku menyadarkanku dengan kata-katanya yang menamparku telak. Aku sadar akan hal itu tapi tak mampu mencegahnya keluar. Ini aib bagiku dan keluargaku. Dan aku kesulitan untuk mengatakan apa yang benar-benar sedang kurasakan setiap saat.

Dua tahun ini begitu sepi. Rumah kami tampak kosong. Aku tak lagi bisa melihat raut wajah damainya saat tidur, ataupun melihatnya saat menangis. Aku merasa hampa. Aku merindukan teman hidupku, ibu dari calon anakku yang dulu masih di dalam perut. Kira-kira bagaimana rupanya dari dekat?

Bukan Taeby tak memberiku alamat rumahnya di Daegu atau nomor telepon. Hanya saja aku yang terlalu pengecut. Aku takut melihatnya hanya akan menyakitinya lagi. Aku takut menjadi orang asing di tengah kebahagiaan yang sedang ia pupuk dari awal lagi. Tapi aku juga tak sanggup menahan rasa rindu ini. Aku terlalu lemah untuk mengabaikannya.

Itulah sebabnya aku di sini. Sekarang aku ada di Daegu, tepat di depan rumah keluarganya. Aku melihatnya. Melihat kebahagiaanku terukir manis di sana. Jeon Taehyung dan seorang anak laki-laki yang sedang belajar berjalan. Lucu sekali. Tak terasa, sudut bibirku terangkat. Tapi ekor mataku melihat lelaki itu. Api di tubuhku seolah tersulut. Jimin. Kenapa laki-laki itu bisa ada di sana?

Sejenak aku sadar. Aku susah payah mengontrol diriku. Terapi dua tahun terakhir harusnya sudah membuahkan hasil, 'kan?

Aku berbalik. Tak sadar aku menabrak seseorang. Aku mendongak, berniat melihat siapa orang yang sudah kutabrak.

"Maaf."

"Sedang apa kau di sini? Mau menculik?"

Demi Tuhan. Bukankah Taeby sedang di dalam? Kenapa dia ada di sini, di hadapanku?

"Kau tuli dan bisu?"

Oh, tidak. Taeby itu manis dan tak sekalipun bisa berkata kasar. Lelaki ini bukan Taeby. Lalu siapa? Kenapa begitu identik?

"Kau siapa?"

"Aku? Kim Taehyung."

Hening. Aku terdiam cukup lama. Kepalaku dipenuhi jawaban dari suara beratnya. Lelucon macam apa lagi ini?

"Haha. Aku tau. Kau Jeon Jeongguk. Kau adik iparku."

Adik ipar katanya?

"Perkenalkan. Aku Victor Jr. Kim. Aku kembaran Taehyung. Aku dibawa keluarga Victor Senior sejak usiaku 15 tahun karena masalah ekonomi. Selama itu aku tinggal di Amerika dan melanjutkan hidup di sana. Aku tau kau pasti bingung."

"Tentu saja. Aku tak tahu Taeby punya kembaran."

"Tentu saja. Kau hanya fokus menyakitinya."

Deg. Ngilu rasanya mendengar hal itu dari orang yang bahkan tak sama sekali pernah bertemu.

"Kami kembar. Meski jauh, kami tetap terhubung. Aku tahu suasana hatinya karena itu juga mempengaruhiku. Dan siapa lagi kalau bukan kau penyebabnya, adik ipar?"

Hening. Aku memilih untuk tak menanggapinya dan mengganti topik.

"Kau tak masuk?"

"Aku baru akan masuk tadi tapi terhalang olehmu."

"Oh, maaf."

Aku segera menggeser tubuhku dan membiarkannya lewat. Victor mirip sekali dengan Taeby. Perangainya saja yang berbeda. Aku mengamati mereka berempat tertawa. Sesekali melihat Jimin bermain dengan anakku di sana. Menggendong dan menciumnya. Pipi gembil itu, akupun ingin menciumnya, aku ingin memeluknya hangat. Aku juga ingin membelai kepalamu, Tae.

Aku berbalik dan menjauh dari rumah itu. Sepertinya hari ini aku akan mencari penginapan terdekat. Tidur di mobil bisa membuatku encok.

.

.

.

Paginya aku mandi, bebenah dan melakukan rutinitas seperti biasa. Aku sudah bertambah usia. Aku sudah lulus dan membantu ayah mengurus perusahaannya. Aku sudah bisa menghidupi diriku sendiri dan keluarga kecilku nanti tentunya. Jadi, hari ini aku harus bisa menemui mereka. Aku harus berupaya semaksimal mungkin agar bisa mendapatkan mereka lagi.

Aku melangkahkan kakiku mendekat ke arah pohon. Aku mengintai di sana. Aku juga melihat anak kecil itu berjalan mendekat dengan kaki mungilnya yang tampak kesulitan. Sontak aku bersembunyi, berharap ia tak melihatku dan berbalik menuju rumah. Tapi, yang tak disangka, anak itu sudah ada di sisiku dan mencengkeram celan bahanku dengan erat. Bibir mungil itu tampak merapalkan sesuatu. Sesuatu yang membuatku menghangat.

"Appa..."

Apa ini yang dinamakan bahagia karena diterima dan dirindukan? Anak kecil ini memanggilku ayah. Anak ini anakku. Anak yang sempat kusiksa semasa janinnya.

Aku meneteskan airmata dan itu membuatnya ikut menangis. Aku susah payah menenangkannya tapi tak bisa. Akhirnya aku menggendongnya dan mengayun-ayunkan badan kecilnya hingga terlelap pulas. Tak kusangka, saat aku berbalik sudah ada ibu dari anak ini.

"Tae..."

"Jeongguk? Kenapa kau ada di sini? Dan Taeguk kenapa bisa ada dalam pelukanmu?"

"Taeguk menangis, aku hanya berusaha menenangkannya."

"Kemarikan. Biar aku membaringkannya di dalam. Kau bisa pegal dan mati rasa menggendong anak gembul itu."

"Tidak! Aku lelaki dewasa. Anak ini hanya sepersekian dari berat badanku. Aku tak keberatan."

Aku melihatnya mendesah tapi sama sekali tak melarangku atau meminta anaknya. Aku senang karena aku masih ingin lebih lama bersama anakku.

"Kau belum jawab pertanayaanku, Jeongguk."

"Ah, aku tak tahu bagaimana perasaamu. Tapi, untukku ini berat. Aku memang bersalah menyakitimu berulang kali dengan sadar. Tapi Tae, aku ingin jujur. Aku punya kepribadian ganda. Aku sedari awal memang tertarik padamu, aku menyukaimu. Tapi gangguan mental itu membuat semuanya jadi berkebalikan. Aku setengah mati menyembunyikannya dari semua orang. Aku malu. Aku benar-benar tulus menyayangimu. Aku tulus mengkhawatirkanmu, dan aku selalu mengharapkanmu."

"Kenapa baru sekarang?"

"Kau harusnya tahu. Kau pernah sekolah di fakultas kedokteran. Aku butuh waktu untuk membuat semuanya jadi terkendali. Aku hanya tak ingin menyakitimu lagi. Maaf sudah membuatmu menunggu."

Hening. Aku hanya mendengar deru napasnya. Kepalanya menunduk, mungkin ia sedang menimang ucapanku.

"Kau tak merasakan hal yang sama, Tae?"

Taeby membalikkan badannya dan melangkah sedikit menjauh dariku. Entah kenapa, perasaanku terasa berdenyut sakit. Bahkan, si kecil ini bergerak tak nyaman di pelukanku. Itu menandakan bahwa ia bisa merasakan ketakutan di hatiku.

Aku mengikuti Taeby dari belakang tanpa berkata-kata. Sampai di ambang pintu, kakiku berhenti, enggan untuk melangkah maju. Aku melihat di samping pintu ada Victor, aku pun memberikan si kecil padanya dan tersenyum sebelum melangkahkan kaki keluar lagi.

Sayup-sayup aku mendengar percakapan dari dalam rumah itu. Rumah yang kecil tapi hangat. Aku sempat melihat Kim eomoni dan abeoji sedang duduk di sudut ruangan sedang bersenda gurau berdua. Pemandangan yang menentramkan hati. Satu-satunya hal yang tak sanggup kulihat adalah Taeby yang dipeluk mesra oleh Jimin. Mungkin mereka kembali lagi. Mungkin inilah alasan mengapa ia menghindari pertanyaanku tadi. Aku tak marah meski aku tahu kami belum resmi berpisah, maksudku bercerai. Tapi aku sadar diri dan mencoba mengerti posisiku.

Aku sampai di penginapanku. Kecil tapi nyaman, aku menyukainya. Lagipula di sini ada anakku. Aku merasa tempatku memang bersama mereka. Aku begitu ingin memeluk mereka erat. Kuharap, segala sesuatu negatif yang ada dipikiranku sirna.

"Jeon Jeongguk."

Aku menoleh. Suara itu, aku mengenalinya.

"Lama tak jumpa, cabul."

"Park Jimin. Ada perlu apa denganku? Kau membuntutiku?"

Aku melihatnya tertawa sambil berkacak pinggang. Sedangkan aku mengernyit bingung.

"Katakan perlu apa? Jangan buang-buang waktuku."

"Kurasa kau sekarang tahu bagaimana rasanya sakit seperti apa yang sudah dirasakan TaeTae selama ini. Untung sekarang dia memilih jalan yang tepat."

"Apa maksudmu? Jangan membuatku memukulmu di sini."

Sekali lagi, aku melihatnya tertawa mengejek. Itu hal yang menyebalkan. Laki-laki itu membuatku naik pitam. Tidak. Itu kenyataannya, aku tidak boleh terpancing. Itu memang terjadi karena kesalahanku. Aku memang pantas disalahkan.

"Aku tahu dia sudah memilihmu dan kalian tampak bahagia bersama. Semua di masa lalu murni kesalahanku. Jadi, bisakah sekarang kau pergi? Aku punya kesibukan saat ini."

Kututup pintu dan bersandar di dinding. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku akan melepasnya. Taeby sudah punya kehidupan yang bahagia. Tak seharusnya aku datang dan merusaknya begitu saja. Aku hanya akan berkunjung dan mengamati mereka dari jauh. Bagaimanapun juga, Taeguk adalah anakku. Aku sudah memperhatikan perkembangannya sejak lahir dengan bantuan Paman Lee. Jadi, aku akan terus memantaunya dan melindunginya dari jauh.

Aku meraih koperku di sudut ruangan. Belum sempat kukeluarkan isinya, sengaja. Kupikir aku akan diajak ke rumahnya dan semua berjalan lancar. Tapi mau bagaimana lagi? Lebih laik aku kembali dan mengurus surat cerai itu agar aku tak menghalangi Taeby lagi. Ya, lebih baik seperti itu.

Aku menarik koperku dan membuka pintu. Tapi aku tertegun. Di depan sana , tak jauh dari pintu penginapan, aku melihat Taeby dan juga Taeguk berdiri dengan raut wajah tak terbaca. Aku tak tahu harus bagaimana. Semakin lama di sini dan menatap mereka, hatiku semakin tak bisa merelakannya.

"Kau mau pergi?"

"Begitulah."

Taeguk menangis. Bibir mungilnya merapalkan kata 'appa'. Aku melihat tangannya terulur padaku seolah meminta untuk kugendong. Aku pun mendekat,meninggalkan koperku di belakang dan beralih menggendong si kecil.

"Appa di sini. Uljima, Taegukie."

"Bahkan Taeguk saja ingin kau didekatnya. Kenapa kau begitu ingin pergi?"

Aku tertegun. Pertanyaan itu apakah untuk menahanku pergi?

"Kenapa kau diam?"

"Kau punya kebahagiaanmu di sini dan tempatku bukan di sini."

"Jeongguk. Kebahagiaanku hanya satu. Apa yang anakku inginkan, yang anakku banggakan, dan yang bisa membuatnya bahagia, akupun sama. Kau tahu betul bahkan sejak pertama kali bertemu, Taeguk mengenalimu begitu saja, dengan mudahnya."

Aku menatap ke dalam mata anakku. Kelam matanya menarikku jauh lebih dalam. Anakku bahagia berada dekat denganku?

Aku terenyuk. Jemari mungilnya menyentuh pipiku. Lembut sekali. Mataku terbuka. Aku tak sanggup bila kehilangan kehangatan seperti ini. Tidak lagi. Biarkan aku berjuang lebih keras kali ini.

"Tae, bisakah aku tetap bertemu dengannya setelah ini?"

"Tentu saja. Taeguk juga anakmu."

"Bagaimana denganmu? Apa Jimin tak akan marah?"

"Jimin? Apa hubungannya dengan Jimin?"

"Bukannya kalian bersama lagi? Aku melihat kalian dua kali berpelukan."

"Apa yang kau bicarakan itu? Jimin adalah kakak iparku. Dia suami Victor. Kau salah paham."

Apa? Suami Victor? Aku tak salah dengar? Jadi masih ada harapan untukku?

"Aku hanya punya satu suami dan hanya akan menjalani hidup satu kali dengan satu keluarga kecil. Anakku bahkan menerimamu. Lantas, apa alasanku menolakmu?"

"Kau berhak. Aku sudah memperlakukanmu sangat buruk."

Taeby meraih tanganku. Ia membelainya dengan lembut. Bahkan sudut bibirnya terangkat membentuk kurva yang indah.

"Kau ingat kesepakatan kita dulu? Saat kita berdua merasakan hampa, di situlah kita bahagia. Kau sudah mengaku hampa, dan sekarang akupun begitu."

Aku melangkah. Dengan masih memeluk Taeguk, aku turut memeluk Taeby. Aku merasa beban di dadaku menghilang. Semua terasa ringan. Bahkan senyum saja terasa sebahagia ini. Aku bersyukur. Terimakasih, Tae.

END