BTS Fanfiction

Kim Namjoon x Kim Seokjin

Warning:

BxB, SFW, Family/Drama, typo(s), baku. Mention Kid!Jungkook dan Teen!Jimin.

Didedikasikan untuk event menulis #NgeWCdiNamjinmenfess pada Twitter namjinmenfess

— selamat membaca —

.

.

.

.

.

"Jungkook, bangun anak manis! Matahari sudah tinggi lho, apa kamu ingin terlambat datang ke sekolah hari ini?" teriak seorang lelaki yang kini tengah berkutat dengan spons penuh busa sabun sembari sesekali menengok ke arah pintu kamar di mana jagoan kecilnya masih terlelap. Ia tersenyum tipis lantas netranya kembali jatuh pada sebuah teflon berukuran 24 centimeter bekas menumis daging sapi, mengusap permukaan stainless steel tersebut hati-hati, serta melihat penuh teliti bilamana masih ada sisa noda yang tertinggal pada salah satu sisi. Kemudian membilas alat masak terakhir dalam kubang wastafel itu setelah memastikannya benar-benar bebas dari kotoran dan meletakkan satu per satu peralatan habis cuci di papan peniris. Pikirnya biarkan kering dulu sementara ia membangunkan si buah hati.

Selepas membuang selembar tisu pada bak sampah tilas mengelap kedua tangan yang tadi basah, Seokjin melenggang ke sebelah kanan, melewati satu set meja makan lantas menuju ruangan berpintu kayu dengan cat putih. Mengetuknya sekali dan menanti, telinga kiri ia tempelkan sambil kembali menarik sudut bibir. Oh, astaga. Tidak ada suara sama sekali. Sepertinya—atau memang—Jungkook kecil belum rela meninggalkan dunia mimpi.

"Jungkook sayang, papa masuk ya?" setelahnya bunyi 'klik' pintu terbuka samar terdengar sepenjuru rumah. Benar, pria dewasa ber-apron coklat muda, memakai kaus putih lengan pendek, serta celana training hitam itu adalah seorang papa dari anak lelaki yang sedari tadi dibangunkan namun tak sedikitpun terusik ataupun menjawab tanya. Kim Seokjin namanya, orang tua tunggal berusia 36 tahun yang kini tengah menjalani kehidupan rumah tangga selayaknya manusia biasa yang berkemampuan cukup aman. Terlebih perkara finansial, sebab ia punya sebuah restoran samgyeopsal 'sehat' di ujung jalan.

Sejauh mata memandang, tidak banyak yang berubah semenjak dua jam lalu Seokjin meninggalkan ruangan. Single-bed berantakan; selimut bergambar Iron Man sebagian lusuh tertindih tubuh gembul Jungkook, satu bantal teronggok di kaki ranjang, serta sprei putih yang nampak banyak lipatan. Ekor matanya melirik pada jam digital di nakas, sudah pukul enam seperempat, harusnya si kelinci satu itu sudah mandi dan tinggal duduk manis menikmati sarapan. Entah mengapa hari ini ia sulit sekali dibangunkan—ya meski biasanya juga sama susahnya.

"Jungkook, tadi papa masak kesukaan kamu lho. Bonusnya susu pisang dan wortel yang sudah dipotong-potong sesuai dengan apa yang selalu kamu minta. Masih tidak mau bangun nih?" ujar Seokjin sambil menggoyangkan badan si kecil.

Yang diusik tidurnya menggumam malas, "Papa.. masih ngantuk, mau lanjutkan mimpi Kookie dulu, oke?" tawar Jungkook sambil semakin melesakkan kepala pada guling yang tengah dipeluknya erat. Seokjin sontak tertawa, "Hei, ya ampun, kamu ini. Sudah setengah tujuh ini lho, mau telat terus dihukum sama ibu guru? Lagi pula siapa yang semalam minta papa antar beli stok susu pisang sekalian berangkat sekolah, hm?"

Mendengar susu pisang disebut sepertinya otomatis menarik nyawa si kecil Jeon yang mengawang terkumpul menjadi satu. Buktinya kini ia sudah rapi terduduk sembari tersenyum malu. "Jadi hari ini kita akan mampir ke supermarket buat beli susu pisang, Pa?" tanyanya kikuk. Seokjin mengangguk, "Asal kamu sekarang bergegas mandi, ganti baju, siapkan peralatan ke sekolah, lalu sarapan ya kita jadi beli. Kalau tidak—"

"Ayay captain! Kookie mandi dulu, oke? Bye!" belum rampung Seokjin mengatakan sesuatu, Jungkook sudah lebih dulu melesat keluar kamar setelah menyambar handuk. Bahkan salam di pucuk kalimat kelinci gembul itu terdengar tidak begitu jelas karena Jungkook mengatakannya sembari berlarian layaknya diburu serdadu. Aduh, ada-ada saja kelakuan ajaib yang membuatnya lagi-lagi tergelak lucu. Ya, setidaknya ia masih bisa mengumbar tawa sesudah melewati tahun-tahun awal perceraiannya dengan sang mantan yang sama sekali kelabu. Ya, sangat beruntung ia memiliki Jungkook.

"Jangan lama-lama mandinya, oke?" seru Seokjin sehabis melepas hela napas berat yang tiba-tiba saja bergumul. Ah, padahal matahari saja belum terlalu tinggi, tetapi mood sudah jungkir balik gara-gara kenangan pahit yang selama ini ia simpan sendiri.

.

.

.

Sudah hampir pukul tujuh namun sepertinya yang ditunggu tak segera ingin menampakkan batang hidung. Bahkan secangkir kopi dan sepotong sandwich asal-asalan yang ia buat sudah tandas tak berwujud, ruang makan masih terisi oleh dirinya sendiri serta koran harian yang teronggok menyedihkan di sudut meja makan. Ia menghela napas, memanggil sekali lagipun agaknya tak memberikan pengaruh. Rumahnya cukup luas hingga sekali seruan saja kemungkinan kecil tertembus. Apalagi dilapisi material kedap suara, ya, bisa saja sampai melotot hanya akan memeras peluh. Kim Namjoon menggelengkan kepala, "Nak! Kamu benar tidak ingin sarapan? Ayah membuat sandwich untukmu lho! Kamu juga tidak ingin sekolah? Ya ampun—aku menyesal membangun rumah seluas ini, astaga."

Namun agaknya seruan sarat putus asa—sebab seakan menyedot seluruh tenaga—barusan berhasil karena tak lama bunyi tapak kaki perlahan mulai meniti anak tangga, sedang turun. Yang berkemeja putih, berdasi hitam dengan corak horizontal kaku, sekaligus lengkap memakai celana bahan hitam tersebut tertegun setelah mendongakkan kepala, "Lho? Tumben kamu belum bersiap? Padahal ayah sudah rapi begini," ujarnya ketika melihat penampilan Jimin yang masih berpeluk piyama tidur.

"Aku sedang tidak enak badan, Yah. Serius, sehabis bangun rasanya aku malas sekali berangkat sekolah dan ya, setelah mengecek suhu tubuh, wow! 37,5 derajat celcius. Bolehkah aku izin hari ini?" tanya sang anak saat berhenti di tengah jalan sembari memasang wajah melas sekaligus cemberut.

Namjoon yang diberi informasi secara gamblang otomatis terkejut, "Astaga! Kenapa tidak bilang ayah dulu? Tahu begitu ayah tidak meneriakimu seperti orang kesetanan tadi. Maafkan ayah ya?" kata si kepala keluarga jujur. Ya ampun, kalau saja ia tahu Jimin sedang sakit, ia tidak akan sibuk meminum kopi sambil asah tenaga dalam 'kan? Setengah rugi karena ia sekarang kembali kelaparan.

"Oke, nanti ayah izinkan ke wali kelasmu."

Jimin, anak semata wayang Namjoon menggeleng, "Tidak perlu Ayah, aku sudah menitip izin ke Taehyung kok tadi sebelum turun. Jadi Ayah tidak perlu repot ke sekolahku hanya demi mengizinkan aku meninggalkan pelajaran." Potong Jimin saat mengerti tindak-tanduk sang ayah yang cepat-cepat menyingkirkan cangkir kopi dan piring bekas sarapan ke wastafel. "Lagipula bukannya Ayah ada jadwal menguji mahasiswa hari ini? Ayah harus segera berangkat lho, hehe."

Maksud hati ingin terlibat dalam dunia pendidikan anak, namun kenyataan tanggung jawab akan universitas membeban berat di pundak sedikit-banyak menyesakkan dada. Terlebih Jimin yang kini kian berlaku dewasa membuat Namjoon merasa begitu gagal menjadi ayah yang berguna. Terkadang ia sibuk bertanya dalam kepala ketika memiliki waktu isitirahat di sela hiruk-pikuk jam mengajar, apakah selama yang dirinya ingat ia cukup dekat dengan sang anak? Apakah ia sudah cukup menjalankan tugas sebagai seorang ayah yang baik selama empat belas tahun hidup Jimin? Apakah keputusan yang ia ambil sudah tepat dalam mendidik buah hati setelah ditinggal sang istri pergi? Entahlah, sepertinya tidak ada yang bisa memberi jawaban pasti sekalipun dirinya sendiri.

"Ayah?"

Namjoon tergagap, "A-ah, iya?"

"Aku sudah titip izin ke Taehyung lewat telepon untuk disampaikan ke wali kelas kalau aku sakit. Jadi Ayah tidak perlu repot datang ke sekolah demi mengizinkanku dua kali. Sebentar lagi jam tujuh lho, Ayah harus berangkat 'kan?" tutur Jimin lembut—yang mana semakin membuat pria matang berumur 35 tahun tersebut dihantam rasa bersalah. Kentara sekali menahan luapan emosi hingga terkepal genggaman tangan.

Sang ayah menunduk, "Jimin,"

"Iya? Ada apa, Yah?" seorang putra berperawakan mungil itu menuruni tangga sembari berpegangan pada railing—rel pegangan tangan. Matanya tertuju penuh tanya pada sosok sang ayah yang kini terdiam sembari bertumpu pada pinggiran bak cuci. Menunggu kalimat apa yang akan ia dengar setelahnya.

Hingga Jimin berada di belakang tubuh tinggi sang panutan, tak ada sinyal bahwa untaian kata akan segera terdengar. Apakah Namjoon murka? Ah, pasti karena ia tidak buru-buru turun sewaktu ayah memanggilnya sarapan tadi ya? Duh, salah Taehyung! Padahal Jimin sudah bilang ayahnya teriak-teriak sedari tadi menunggu ia keluar kamar, namun si bocah bersenyum kotak itu malah seenak jidat menahan dengan dalih susah sinyal. Menyebalkan! Bagaimana di zaman semaju ini Korea Selatan masih miskin data? Ingatkan Jimin untuk memukul kepala—

"Ayah minta maaf ya, Nak." Namjoon membalik badan lantas dengan lekas memerangkap tubuh Jimin dalam dekapan hangat berujung permintaan maaf. Telapak kirinya mengusap perlahan surai gelap Jimin yang seharum floral. Oh Tuhan, kapan terakhir kali ia memeluk sang anak? Rasanya sudah lampau sekali.

Jimin mengusak kepala pada dada yang lebih tua, "Ayah tidak memiliki kesalahan apapun kok ke Jimin, Ayah tidak perlu meminta maaf. Sungguh. Justru Jimin yang harus minta maaf," jedanya sembari mengambil napas, kembali teringat akan seonggok sahabat yang beberapa menit lalu membuat Kim muda naik pitam setelah mengucap terima kasih atas kebaikan hatinya mengajukan izin ke wali kelas. "Ayah pasti marah 'kan karena Jimin tidak segera turun waktu Ayah panggil tadi? Ayah maaf—"

"No, sayang. Tidak, ayah tidak marah padamu, oke? Ayah hanya khawatir. Bagaimana ayah bisa berangkat kerja kalau kamu saja sakit begini? Ayah tidak jadi berangkat saja ya? Nanti yang mengurusmu—"

"Ayah maaf, izin memotong, Ayah tidak perlu bolos kerja. Jimin bisa jaga diri kok, Jimin 'kan sudah besar. Janji deh setelah ini aku akan jadi anak yang baik dengan segera sarapan dan minum obat pereda demam, bagaimana?" tegas sang anak sembari melepas pelukan dan menatap lurus pada manik kembar Namjoon.

"Jimin,"

"Sungguh Ayah, tidak perlu, oke? Sebagai gantinya, hm, bagaimana kalau sepulang kerja nanti Ayah belikan aku susu pisang?" tawar Jimin dengan senyum kelewat lebar hingga kelopak yang merangkum bola mata menyipit bulan.

Menolakpun mustahil 'kan? Maka dengan helaan napas pasrah, Namjoon mengangguk, mengiyakan segala permintaan. Sementara Jimin berselebrasi laksana memenangkan lomba, Namjoon mengukir dalam hati bilamana mulai sekarang ia tak lagi boleh mempertanyakan kepantasan dirinya mengayomi putra satu-satunya karena memang tidak perlu. Mengapa harus mengejar kepastian tanpa jawab selagi ia bisa terus membersamai Jimin sebagai ayah sekaligus teman sebaya. Ya, mari percaya hal itu saja.

"Cepat sembuh, Nak."

.

.

.

Sesuai janji yang sudah ia buat dengan putra manisnya tadi pagi, sepulang dari kampus negeri tempatnya mengabdi sebagai dosen pengajar tetap, Namjoon kini telah sampai di parkiran minimarket terkenal berjuluk 7-11 (Seven Eleven). Sebenarnya ia ingin sekalian berbelanja di Lotte Mart namun karena sekujur badan sudah kepalang lelah, akhirnya ia memutuskan untuk mampir ke tempat ini saja. Berbekal titipan susu pisang dan beberapa barang di kepala yang ia ingat-ingat lagi sudah habis stok di rumah, maka ia dengan langkah lebar-lebar melentingkan raga menuju bangunan pasar mini sekaligus merangkap café pada lantai dua. Mendorong pintu, mengangguk samar pada penjaga toko, mengambil keranjang belanja, lantas melajukan kaki menyisir rak demi rak—memeriksanya satu per satu lantaran khawatir kalau saja ada barang yang terlewat.

Sambil mengamati menara mie instan cup di hadapan, telinga Namjoon menangkap keramaian yang mana terdiri dari suara orang dewasa maupun anak-anak masih memadati minimarket serupa. Terdorong rasa penasaran, ia mengangkat pergelangan tangan guna mengecek jam. Oh, pukul delapan petang. Belum terlalu larut untuk mereka masih berkeliaran pun masih belum terlampau jauh dari jam makan malam. Maka dengan segenap asa berkumpul di benak, "Jimin sudah makan malam belum ya? Sepertinya belum? Kalau begitu aku akan segera bergegas." ujarnya sembari menyapukan pandang pada mie pedas brand lokal varian carbonara lima bungkus lantas segera memasukkannya dalam keranjang—bergabung dengan produk sabun cair, sikat gigi, kimchi instan, bahkan minyak wangi.

Kemudian berbelok pada sisi paling kiri, mata berhadangkan kacamata itu menemukan lemari pendingin berisi berbagai macam minuman kemasan mulai dari teh, kopi, hingga air putih—mineral. Di sebelahnya terdapat banyak jajaran uyu—susu—di mana biasa ditaruh beragam merek yang disukai oleh Jimin. Namun anehnya, banyak terdapat ruang longgar yang berakibat menyusutnya pilihan produk minuman manis yang dapat dibawa ke kasir untuk sesudahnya dilunasi.

"Hm, kurasa bukan yang ini?" retoris Namjoon sembari membolak-balikkan susu dari salah satu merek di tangan. Membaca dengan teliti sekaligus me-recall memori mengenai ciri-ciri susu pisang kesukaan sang putra.

Tapi gara-gara tidak yakin, Namjoon balik menelisik dalam rak. Berusaha menelanjangi tempat tersebut guna menemukan sebuah susu pisang botolan mungil yang Jimin minta. Hingga selama beberapa saat ia habiskan memelototi barang tak bernyawa—ketemu! Namun tak berselang sedetik kemudian, botol susu itu beralih tuan.

"Ah—anu," gagap Namjoon seraya mengangkat wajah dan membiarkan telapak kanannya menggantung kaku di udara, ekspresi tidak terima ia layangkan untuk seorang pria berkemeja flanel polos warna biru muda yang secepat cahaya meraih botol susu incaran.

"Ya?" balas orang tersebut selagi memiringkan kepala, nampak tidak paham mengapa lelaki berkacamata di sebelah kanan badan menyapa. Eh, benarkan ia sedang mencoba mengajaknya bicara? Atau… apa?

Namjoon menegakkan tubuh yang tadinya membungkuk—setengah akan berjongkok—dikarenakan melacak keberadaan sebotol susu. Lamun malah seenaknya diambil tanpa merasa berdosa oleh pria di depan. Maka harga dirinya benar-benar butuh pembelaan, "Ah, mohon maaf, tapi saya lebih dulu menemukan susu tersebut. Jadi, bukankah hak saya untuk membawanya?"

"Eh, benarkah? Saya sudah melihat susu ini sedari masuk toko lho. Tapi karena harus membeli ini-itu, jadi saya putuskan untuk ditinggal dulu baru mengambil susu ini." tutur yang kini sibuk membenahi tentengan keranjang sambil bergantian menatap susu pisang dan wajah berlesung pipit nan tampan.

Baru akan membuka mulut melanjutkan protes sekalian membangun balik harga diri yang runtuh—demi apapun perkataan pria di hadapannya seakan mengejek Namjoon yang bertingkah bodoh sebab mengincar barang orang—, ponsel di saku celana berbunyi.

"Maaf, sebentar—Halo, Nak?" sambar Namjoon ketika ponselnya sudah tertempel di telinga, ah, dari sang anak? Benar. Jimin menelpon sang ayah untuk pamit bilamana beliau pulang telat, maka bocah manis yang sudah duduk di bangku SMP itu akan menjemput makan malam lebih dulu. Lantas si dosen tampan tergolak, "Tidak, tidak. Ayah sudah di jalan kok, tunggu sebentar ya? Hm, oke." kemudian sambungan terputus.

Belum masuk kembali ponsel ke saku, laki-laki penyomot susu sudah akan berbalik arah. Namjoon gelagapan, buru-buru diraih pergelangan tangan lawan bicara agar tak meneruskan langkah. "Anu, tolong relakan susu itu pada saya ya? Sungguh, saya tadi sudah memutari banyak minimarket dan tidak menjumpai varian ini. Anak saya sedang sakit, jadi…" –oke, separuh bohong karena demi Tuhan, ia bahkan langsung melesat kemari setelah keluar halaman parkir universitas.

Yang diberi permohonan hanya demi sebotol susu pisang mengiba—segala diberitahu jika anaknya sedang sakit—, astaga kenapa peristiwa ini berasa konyol sekali? Bayangkan dua pria dewasa beradu pendapat hanya untuk memenangkan satu stok terakhir susu di sebuah minimarket penuh ramai, ya ampun. Ia tersenyum tipis lantas mengangguk, "Baiklah, maafkan saya. Ini untuk Anda, semoga anaknya segera sembuh." lalu memindahkan uyu tersebut ke keranjang Namjoon.

"Terima kasih, sungguh."

Lelaki berkemeja soft blue di depannya kembali menarik halus sudut bibir, "Tidak masalah, kalau begitu saya akan pergi membayar belanjaan. Sampai jumpa, Tuan!"

"A-ah, iya. Silakan." maka setelah salam perpisahan canggung di antara barisan rak minuman kemasan dan camilan, Namjoon mematung sembari masih mematut pandang pada punggung pria murah hati pemberi susu. Separuh bingung akan letupan asing dalam dada ketika balik mengingat manisnya bibir orang asing itu ketika tersenyum.

Tetapi tidak lama bertahan, senyum Namjoon luntur dan berganti erangan lesu. "Aduh lupa bertanya! Siapa ya nama lelaki itu?"

.

.

.

Tidak tahu atas dasar apa kota Seoul seharian ini terasa begitu cerah; matahari yang telah menaiki tahta walau jam dinding masih berdetak malas, sang bayu berdesir seolah sibuk mengantar rindu, pun Jimin yang telah terduduk rapi di meja makan sembari menawarkan sebotol banana uyu. Terlihat anehpun sebenarnya tidak, sampai ketika bunyi alarm makan siang berdengung, Hoseok mengajaknya keluar untuk mengisi perut. Masih normal; rekan sesama pengajar secerah bagaskara yang ribut memberikan rekomendasi berbagai tempat santap siang yang menggiurkan, dentum musik klasik dari musisi terkenal, hingga jalanan Seoul yang ramai lancar. Entahlah, namun satu hal yang terasa janggal. Orang tua Jimin menoleh pada sisi jalan dengan dahi dikerutkan.

"Hoseok-ah, apa biasanya memang seramai ini waktu makan siang?"

Lelaki Jung menelengkan kepala, "Antara iya dan tidak, kalau restoran favorit ya memang terlihat seramai itu sih. Ada apa memangnya, Joon?"

"Tidak apa, tapi sepanjang jalan aku lihat tidak ada tempat yang longgar untuk mampir." sahut Namjoon sembari mengalihkan pandang ke depan, sedang lampu merah ternyata. "Lalu kita ini jadi mau makan di mana? Sudah habis sepuluh menit jalan terus lho,"

"Kamu ada ide tidak?" tanya Hoseok balik yang menimbulkan decakan main-main dari si sahabat dekat. "Aku sih terserahmu saja, makan di manapun aku oke. Lagipula ingat, kita harus segera kembali karena setelah ini masih ada rapat dengan jajaran dekan."

Pria yang sedang menyetir itu ber-ah ria, seakan baru bangun dari amnesia akan padatnya jadwal hari ini. Belum lagi kampus sudah masuk pekan ujian tengah semester, kerja lembur bukan hal luar biasa dalam hidupnya lagi. Sungguh, seolah Namjoon menyeret kesadaran kembali dari alam imaji, hingga ketika sadar ia langsung berasa diorientasi. Ya sudahlah, memang kalau bicara tanggung jawab atas kewajiban profesi tidak bisa lagi dinegoisasi.

"Kalau begitu samgyeopsal saja bagaimana? Kebetulan beberapa hari yang lalu aku pernah makan malam di sana bareng teman seproyekan, mau coba tidak? Lumayan enak lho, tempatnya juga sejuk. Tidak terlalu sesak pengunjung juga." tawar Hoseok seraya menginjak pedal gas, melajukan kendaraan pada lajur kiri dan berbelok menemui gang di mana menjamur berbagai macam kedai makanan. Lantas tanpa mendapat jawabanpun Hoseok sudah memutuskan.

"Nah, sudah sampai." riang Hoseok seraya melepas seatbelt lalu segera turun dari mobil, disusul Namjoon kemudian. Ketika alas pantofel menjejak bahu jalan, bau harum daging panggang langsung menyengat organ pernapasan. Benar kata Hoseok, restoran ini kiranya akan memuaskan ronta perutnya yang sekarang baku hantam di dalam.

Masuk kedai, manik kembar Namjoon seketika disambut oleh berbagai set tempat makan, meja besar berisi peralatan santap keperakan, lampu-lampu bergantung cantik di atap ruangan, sampai dekorasi restoran bernuansa vintage itu menarik simpati Namjoon. Oh, bahkan ada tanaman bonsai kecil di sudut meja kasir. Pasti pemilik restoran memiliki sisi manis sekaligus berkepercayaan diri tinggi.

"Di sini!" seru Hoseok tak lama setelah mengambil duduk. Meminta atensi pramusaji bilamana ada pengunjung baru yang minta dilayani. Sementara Namjoon puas menjelajah pandang, seseorang berperawakan tinggi dengan bahu lebar mendekat. Agaknya sedikit tergopoh sembari sesekali mengusap tangan pada apron merah bergambar babi pink meringis. Sampai pada tatapan keduanya bertumbuk di satu garis lurus, "Seokjin-ssi, halo! Lama tidak berjumpa!" Hoseok memanggil namanya.

Siapa tadi? Seokjin?

Yang dipanggil lekas mengalihkan perhatian, separuh berdeham sambil tangannya repot merogoh catatan kecil dari balik saku celemek merah yang memeluk badan. Kemudian berhenti di sisi Hoseok yang masih memancarkan senyum sejuta watt sembari masih bertegur sapa, "Kami pesan dua set samgyeopsal untuk makan siang! Oh ya," Hoseok berganti menatap Namjoon dan menepuk pelan pundak sang kawan.

Hoseok kembali berujar, "Kenalkan, ini Kim Namjoon, teman sesama dosen pengajar di universitas. Masih satu divisi dengan rekanku yang waktu itu makan malam di sini." kenalnya pada Seokjin dan diberi anggukan manis. Namjoon segera mengulurkan tangan, berniat untuk saling berjabatan. Lantas otomatis dibalas oleh lelaki ber-apron disertai senyuman antusias.

"Kim Seokjin, pemilik kedai samgyeopsal ini. Kita pernah bertemu lho, Namjoon-ssi, ingat? Waktu itu Anda sedang mencari susu pisang di Seven Eleven." kata Seokjin panjang lebar, sekalian kembali membawa Namjoon mundur pada kenangan seminggu yang lalu di mana ia begitu terkesan mengemis sebotol susu demi sang anak. Astaga, kok rasanya sedikit malu ya? Namjoon balik tersenyum lebar.

"Lho? Kalian saling kenal?" tanya Hoseok yang masih memantau adegan reuni sosok yang tak disangkanya pernah berjumpa—meski tak sengaja. "Kami tidak sengaja berebut susu pisang waktu itu, haha. Tidak menyangka bertemu Anda lagi, Namjoon-ssi. Ah, ngomong-ngomong, anak Anda sudah sembuh?" lanjut Seokjin selepas menjabat tangan pria ber-dimple tersebut.

Hoseok lagi-lagi terperangah, "Eh? Jimin sakit, Joon?" aneh, rasanya aneh sekali. Hoseok seperti terjebak di antara dua orang yang saling mengenal lama hingga ia tersingkir dan lupa identitas diri. Ini yang teman dekat Namjoon itu dirinya atau Kim Seokjin sih? Kok hal sekrusial Jimin sakit saja Hoseok tidak tahu? Padahal Namjoon biasa bercerita tentang kehidupan pribadi padanya walaupun tidak disuruh.

"Sudah, anak saya sudah sehat kok, Seokjin-ssi. Terima kasih telah bertanya dan masih mengingat kami." jawab Namjoon sopan sambil menikmati ledakan halus bertubi-tubi dalam rusuk ketika pria yang ia gadang-gadang akan ditanyai namanya ketika jumpa lagi malah bersikap lebih dari ekspektasi. Kim Seokjin ya? Nama yang bagus, sesuai dengan pemiliknya.

Selagi belum terlalu jauh pembicaraan antara sang kenalan dengan sahabat dekat, Hoseok masuk menginterupsi. Dalam hati ia ingat—sekalian merutuk diri—bahwa setelah ini masih ada rapat bersama jajaran dekan fakultas dan mengharuskannya pun Namjoon bergegas kembali. "Kalau begitu kami menunggu dua set samgyeopsal sekalian air dingin kemari, Seokjin-ssi. Kami harus segera kembali, ada rapat dadakan, hehe!"

"Oh! Ya ampun, maafkan aku. Jadi larut dalam obrolan begini. Kalau begitu aku akan menyiapkan pesanan kalian dulu. Sampai nanti, Hoseok-ssi, Namjoon-ssi." sedetik setelahnya Seokjin berlalu, meninggalkan hening dalam hampa antara Hoseok dan Namjoon yang kini masih sama-sama mematut kepergian pemilik kedai.

"Hei," Hoseok menyenggol lengan teman sepantaran yang wajahnya nampak berseru tak ingin ditinggal pergi. Kemudian terkekeh geli.

Namjoon tersentak, "Ada apa?"

"Menarik bukan?"

"Eh? Apa yang menarik?" cengo ayah Jimin sembari menatap iris putra Dewa Matahari yang berbinar penuh afeksi. Oh, jangan lupakan seringaian tipis yang terbentuk bagai siap mencercaimu berbagai macam makna misteri.

Hoseok menggerakkan alisnya main-main, "Aku ada nomor ponselnya lho ngomong-ngomong,"

Lantas selanjutnya Namjoon baru menyadari satu hal yang sedari pagi mengganjal hati. Seoul tidak pernah berubah, masih sama cerahnya dengan kemarin. Namun kini yang menjadi pembeda adalah suasana kalbu dalam raga yang mendadak bersih berkilauan semenjak awan mendungnya disapu bersih oleh seorang pria yang ternyata selama ini ia cari. Kim Seokjin, makhluk bersenyum paling legit ciptaan Illahi.

.

.

.

Seokjin meletakkan ponsel pada nakas ketika sambungan telepon dengan Min Yoongi baru saja terputus. Tidak ada obrolan spesial, hanya pria Min yang berprofesi sebagai chef utama di suatu hotel elit kawasan Songpa-gu itu menginformasikan bilamana gudang belakang rumah Seokjin sudah selesai ia cat ulang tadi siang. Karena ada panggilan mendadak dari atasan, maka Yoongi harus bersiap kembali ke hotel tanpa lebih dulu membereskan barang-barang ke tempat semula. Oleh sebab tersebut, Yoongi baru bisa menelpon pukul tujuh malam dan meminta maaf pada Seokjin. Menawarkan kembali tenaga esok hari kalau saja sahabat karibnya semenjak kuliah butuh teman angkat barang yang langsung diberi gelengan oleh si empu rumah. Katanya, Yoongi sudah cukup lelah atas beban pekerjaan sekaligus mengurus tetek-bengek keperluan anak cabang resto yang minggu lalu baru buka. Ah, sebelumnya Seokjin diminta lelaki itu untuk membantu sedikit urusan keuangan di sana hingga setuju dibayar dengan tenaga mengecat rumah secara sukarela oleh Yoongi hari ini.

Kemudian Seokjin bangkit dari ranjang; memakai sandal rumah, mengambil masker, meraih cardigan polos berwarna pastel lantas memakainya, lalu mematikan lampu tidur. Ia berjalan ke luar kamar dengan niat ingin membereskan barang-barang di dalam gudang yang belum sempat Yoongi taruh rapi. Tidak jauh pun tidak berbeda bangunan, sebab rumah yang dibelinya ini tidak banyak memakan tempat—alias minimalis. Berbelok ke kiri, menyusuri lorong, melewati kamar mandi lalu sampai pada ruang paling ujung di mana berbatasan dengan pintu belakang. Di sanalah gudang berada.

"Wah, urusan seperti ini Yoongi memang tidak ada duanya." gumam Seokjin memuji. Pintunya tidak tertutup guna cepat mengeringkan cat di dalam juga agar tidak pengap.

Seokjin segera meraih beberapa boks besar dan memindahkannya ke sisi ruangan. Sesekali mendorong benda tersebut jika dirasa cukup berat meski untuk ukuran lelaki dewasa sepertinya. Mengulang hal yang serupa beberapa kali hingga kini bersisa kotak penyimpanan kecil-kecil yang jujur sudah lupa ia isi apa di sana. Setengah berdebu, ia yakin akan ribut bersin dan batuk kalau saja tidak memakai masker penutup hidung. Meraih satu boks dan mencoba membuka penutup wadah, oh, ini.

Tangannya bergetar samar, tiba-tiba keringat dingin mulai membasahi raga yang berbalut piyama merah muda. Ternyata ia masih menyimpan barang-barang kenangan masa emas pernikahannya dulu dengan ayah Jungkook, Jeon Junghwa. Diambillah sebuah potret polaroid usang berisi Junghwa dan dirinya serta Jungkook kecil yang saling memeluk mesra, tergambar jelas pun masih basah di ingatan. Minggu kedua musim semi, mereka memutuskan untuk berlibur bersama di sekitar Namsan Tower. Berlatar bebungaan mekar sekaligus semerbak floral memenuhi pernapasan turut membuat dada Seokjin sesak. Menghantar sengatan penuh racun hingga tanpa disadari ia jatuh terisak. Perih, sakit sekali. Lantas bersamaan dengan derasnya permata bercucuran menganak sungai, derap kaki terdengar dari kejauhan. Seokjin tersentak, buru-buru ia hapus jejak menyedihkan di wajah. Tidak, putra manisnya tidak boleh tahu.

"Papa, Jungkook pulang!" bahana bocah kecil yang lantangnya tidak main-main sedetik setelah suara pintu depan terbuka. Beriring dengan gesekan sandal rumah serta debum ransel pada sofa berkulit coklat yang kemungkinan besar milik sang anakpun memenuhi ruangan. Seokjin berusaha mengulas senyum.

Melewati lorong bagian kiri rumah, Jungkook menelusuri kawasan yang sudah sangat ia hafal. Menemukan sang papa yang kini tengah membuka sebuah album bersampul putih tulang sambil memasang muka tanpa ekspresi apa-apa. Kemudian Jungkook tertawa dan menubruk tubuh Seokjin bar-bar, yang lebih tua hampir tersungkur bila tidak sigap memeluk putranya.

"Papa!"

Sedikit terhuyung akibat ditubruk beban segembul Jungkook, "Wah, anak papa sudah pulang ya? Aduh—sebentar sayang, papa masih harus memindahkan barang, kamu tunggu di situ, oke?" kata Seokjin memberi pengertian pada kelinci manisnya supaya lengan gempal Jungkook melepas peluk pada leher dan membiarkannya menyelesaikan pekerjaan.

"Aku bisa membantu Papa, lho! Mau aku bantu tidak?" tawar si kecil Jeon sambil melepaskan pelukan. Sedikit melongokkan kepala pada album foto di telapak kiri Kim Seokjin dan mengernyitkan dahi kasar.

"Tidak perlu, tinggal sedikit kok. Kamu ganti baju dulu sana, selesai memindah barang kita nanti lanjut makan malam, bagaimana? Setuju?" ucap Seokjin lantas mengecup gemas pipi Jeon muda.

Jungkook terdiam, matanya masih terpaku pada potret pernikahan yang terpajang rapi dalam album kenangan—foto ayah dan sang papa yang berpelukan mesra sehabis sesi lempar bunga. Seokjin terkejut, buru-buru menutup album dan menyimpannya kembali dalam kotak.

"Papa,"

Seokjin mengangkat kepala, "Iya Sayang? Ada apa, hm?"

"Papa kangen ayah kah?" pertanyaan itu lolos dari mulut Jungkook tanpa beban. Seolah baris kalimat tersebut melayang tanpa diberi nyawa, namun masih bisa mematikan gerak Seokjin yang terhenyak dalam hampa. Menatap dalam iris si kecil yang beningnya melebihi kejujuran terhadap diri sendiri—bebas akan kebohongan.

Masih belum mendapat jawaban, Jungkook kembali bertanya. "Apa Papa ingin menikah lagi nanti?" jemari kecil nan putih memeta wajah Seokjin, menempatkan telapak kanan pada tulang pipi lantas mengelusnya pelan. Mengamati perubahan air muka sang papa ketika pertanyaan kedua selesai ia ajukan. Netra bersih yang biasa memancar kehangatan dalam tiap detik-detak jantung Jungkook mulai memerah, menahan tangis tentu saja. Sesak yang tadi lenyap sekarang mengendap dalam benak.

"Kenapa bertanya hal itu, Sayang?" balas Seokjin serak.

"Uh-um," si Jeon muda menggeleng serta menunjuk selembar undangan dengan bahan kertas aster warna cream sebalik polaroid usang dalam kotak. Ya Tuhan, itu adalah undangan Junghwa pada Seokjin setahun lalu ketika ia memutuskan untuk berkeluarga dengan seorang wanita, mantan klien Junghwa yang kian dekat di luar jam kerja. "Karena ayah sudah menikah, Jungkook kira Papa juga akan melakukannya suatu hari nanti. Jungkook senang kok kalau Papa senang! Ayo cari ayah yang tampan dan jago olahraga biar bisa Jungkook ajak liburan bersama teman-teman sekolah!"

Setengahnya Seokjin tak paham, apakah ia harus menangis atau tertawa. Tahu bahwa putra semata wayang memiliki respon positif semacam ini membuat beban dalam dada terangkat dan membuat Seokjin lega. Lega sekali atau malah tidak?

.

.

.

Jarum jam sudah hampir mencumbu angka setengah sebelas, namun sepertinya Namjoon bercita-cita menggantikan tugas jaga malam satpam perumahan yang memiliki jargon siap sedia kapan saja. Sudah habis dua cangkir kopi di sebelah laptop terbuka, tetapi berkas di dalam monitor seakan tidak ada habisnya. Rencana proyek penelitian bersama rekan satu divisi Hoseok beberapa waktu lalu juga menjadi PR tersendiri untuk segera dilirik dan digarap. Belum lagi tugas take home mahasiswa ketika ujian tengah semester minggu lalu ada saja yang bersisa. Astaga, bisa-bisa belum sampai lansia kepala Namjoon sudah gersang bagai Gurun Sahara.

Di tengah sibuknya jemari mengetik berbagai kata guna melengkapi rumpang kalimat 'tuk menjadi paragraf, ponselnya bergetar samar. Awalnya tidak ia gubris, tetapi lama-kelamaan kok kasihan juga. Maka dengan dalih mengistirahatkan pikiran sekalian meluruskan punggung yang sekarang kesemutan, Namjoon meraih smartphone dan mengusap layar. Ah, ada pesan masuk ternyata.

Buru-buru membuka room chat antara dirinya dengan sang sahabat, Namjoon terpaku sesaat. Dalam pesannya Hoseok menulis, aku tahu kamu pasti butuh nomornya bukan? Aku tunggu traktiranmu lho, haha. Selanjutnya di bawah terlampir nomor ponsel seseorang yang kontaknya diberi nama 'Seokjin Samgyeopsal', Namjoon terkekeh ringan.

Itu? Apa-apaan coba? Nomor Seokjin?

Namjoon meletakkan ponsel di paha, menyandarkan punggung pada bantalan empuk sofa, lalu menengadahkan kepala pada langit-langit lantai pertama. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sesudah mengetahui nomor ponsel pria manis dengan senyum memikat itu, langkah apa yang ia rancang? Lagi-lagi ayah Jimin menghela napas dalam. Punggungnya yang masih berdesir nyeri akibat terlalu lama duduk masih terasa, maka ia biarkan sejenak posisi ini untuk durasi yang lebih panjang.

Sementara napasnya balik teratur, pikiran Namjoon terlontar ke belakang—pada masa dirinya pertama kali berjumpa dengan seseorang berbaju flanel soft blue, menenteng keranjang penuh belanjaan, pun berebut sebotol susu. Berlanjut pada peristiwa makan siang bersama pria Jung yang menjadi pertemuan keduanya dengan orang itu. Ramah kata serta sopan tingkah lakunya menggores tinta emas di kanvas putih Namjoon yang telah lama berdebu. Ia juga merasa kembali hidup dengan debaran menggetarkan dalam dada setelah diberi ulasan senyum hangat oleh si pemilik restoran. Sungguh, baru kali ini Namjoon mengaku 'kasmaran'.

Maka dengan pengakuan tersebut, Namjoon kembali menegakkan badan lantas menetapkan diri melangkah bebas; menghubungi Kim Seokjin dan memulai pembicaraan. Entah nanti di mana kepastian membawa serta sanubari bermuara, urusan belakang. Namjoon mantap menjejak langkah.

"Halo?" Sambungan telepon tak lagi mendengung lantas tergantikan vokal mulus dari seberang. Namjoon mengulum bibir dan menjawab sapaan.

"Dengan Seokjin-ssi? Ini saya, Kim Namjoon." Ujar Namjoon tenang, sesekali mengusap dada yang jantungnya ribut berdendang. Cemas bilamana riuhnya sampai seberang, takut Seokjin risih saat tak sengaja mendengar.

Lelaki dalam sambungan nirkabel itu agaknya sedang berbenah—sebab gemerisik bahan plastik saling beradu memenuhi panggilan. "Ah, Namjoon-ssi. Bagaimana kabar Anda? Sudah lama tidak bertemu ya?" kemudian lesung pipit dari sang dosen terbit seketika, Seokjin terdengar nyaman dalam telinga.

"Saya baik dan tentu berharap bila Seokjin-ssi juga dalam keadaan yang sama. Oh ya, saya dapat nomor Seokjin-ssi dari Hoseok. Tapi ngomong-ngomong,"

"Ya?"

Namjoon membasahi bibir yang tiba-tiba kering ketika desakan tanya menyeruak ingin ke muka, "Seokjin-ssi tahu apa itu salience?" lolos—eh, nampak konyol tidak sih bertanya begitu ketika baru saja berniat mengenal seseorang? Duh, masa bodo sudah.

"Uh-um, saya rasa tidak? Saya hanya lulusan tata boga, jadi maaf bila tidak tahu istilah keren semacam sali—apa tadi?"

"Salience," tutur Namjoon gemas. Ah, ternyata benar salah pertanyaan ya? Aduh, bodoh sekali. Tapi tetap patut dicoba 'kan?

"Nah, benar. Salience." Jawab Seokjin antusias. Setelahnya pria berwajahkan belia di sana menanyakan lagi apa maksud dari istilah tersebut pada Namjoon dan dibalaslah oleh si dosen tampan, "Salience adalah sejauh mana sesuatu tertentu menarik perhatian. Targetnya bervariasi, bisa barang bisa pula orang."

"Lantas? Apakah ada hubungannya dengan saya?" tanya Seokjin ragu.

Senyum Namjoon semakin lebar hingga rahangnya hampir pegal, "Anda akan segera tahu, ngomong-ngomong… apa besok Anda ada waktu?"

.

.

.

Fin.