Boboiboy (c) Animonsta

Fanfiction 'Music' ditulis oleh Ms Lunaaa.

Warnings: AU, OOC, unnamed OC/reader insert.


Sosok itu selalu menghilang dari pandanganku, seolah-olah ia memang sengaja untuk menghindariku. Meski begitu, pemuda beriris akuamarin itu selalu kutemukan di halaman belakang sekolah, duduk di sana, sambil mendengarkan musik, dan menutup matanya.

Saat itu juga, akhirnya aku menerimanya untuk menjadi kekasihku. Meski kata orang, caranya menyatakan cinta membuat mereka diabetes seketika.

Saat aku datang, ia menggeser tempatnya, memberikan sebagian kursi kayu itu sebagai tempatku. Namun, tetap saja rasanya menyebalkan. Ice seolah tidak mempedulikan kehadiranku.

"Hei," ucapku dengan nada protes.

Kelopak mata masih menutupi bola matanya. Hal itu membuatku sangat kesal. Apa-apaan dengan tingkahnya itu.

"Ice!" Aku menarik earphone-nya, mungkin karena volume musik yang lumayan kencang, ia jadi tidak bisa mendengarku.

Usahaku berhasil, pemuda itu melirikku dengan tatapan tanya.

"Kau punya masalah hidup? Cerita sini, jadi gila, kan," ucapku bercanda sekaligus kesal.

Ice menggumam tidak jelas sebelum ia kembali merebut earphone-nya. "Iya, aku tergila-gila denganmu."

"E-eh? A-apa?" tanyaku balik salah tingkah.

Ice memang selalu tiba-tiba. Tiba-tiba menghindar, tiba-tiba romantis.

"Kau dengar sendiri," balasnya lalu kembali menutup mata.

Wajahku memerah, dasar. Apa ia benar-benar serius dengan ucapannya?

Aku memutuskan untuk bungkam sementara waktu. Pertama, Ice harus diberi pelajaran bagaimana rasanya diabaikan. Kedua, aku terlalu malu untuk membuka suara.

"Hei."

"Apa?!"

Ice malah terkekeh pelan. "Kau marah?"

Aku membuang muka. "Kau lihat sendiri, kan?"

"Kau mirip es krim."

"Hah?"

"Manis, lembut, aku jadi ingin es krim."

Apa-apaan itu, kalimatnya payah sekali. Aku heran apa yang ia katakan itu tentangku atau tentang es krim. Sesuai namanya, Ice memang menyukai es krim, apalagi rasa vanila. Aku saja kalah dengan es krim vanila.

"Hei, ayo kita beli es krim," ajak Ice dengan iris akuamarin yang menatap wajahku datar.

Aku membuang muka, menundukkan kepalaku. "Itu, sih, terserahmu."

"Jadi kau mau?"

Aku kembali menatapnya. "Apa?"

"Beli es krim."

"Terserahmu."

Ice tampak terdiam dan menatapku. Aku rasa ia bingung dengan jawabanku yang tidak memuaskannya. Aku sengaja tidak menjawab 'iya' atau 'tidak', dan malah menjawab 'terserah' seperti gadis-gadis lain yang sedang marah pada kekasihnya, hanya untuk melihat reaksinya saja, sih.

"Ah, oke."

Setelah itu hening. Tidak hening sepenuhnya karena Ice tengah menggumamkan lirik lagu yang ia dengar.

Aku menghela napas kecil. Bukannya aku butuh perhatian, sedikit, tetapi aneh kalau Ice lebih sering mendengarkan musik dibanding dulu. Padahal dulu ketenangan adalah kuncinya, maksudnya tanpa mendengarkan suara apapun.

"Hei."

"Hei."

Ah, kami memanggil secara bersamaan.

"Kau dulu," ucapku mengalah.

Ice mengangguk. "Maaf, ya?"

"Maaf?" tanyaku bingung. "Kau berbuat salah?"

Ice menggeleng lalu menilik iris mataku, yang malah membuatku sedikit salah tingkah.

"Aku tebak, kau pasti bertanya-tanya kenapa aku berbeda dengan cowok lainnnya. Misalnya ... kenapa aku tidak memuji kekasihnya, atau melakukan hal yang romantis, dan sebagainya. Itu karena ..." Ice menggantungkan ucapannya lama, membuatku mewanti penasaran. "Aku cukup payah dalam hal seperti itu, tapi aku ... mencintaimu."

Aku menahan napas ketika Ice tersenyum di akhir kalimatnya. Rasanya seperti embusan angin menerpa wajahku yang mulai merona, lembut sekali. Juga, senyumannya tampak seperti candu, ia jarang menunjukkan senyumannya, dan sekarang ia menunjukkannya cuma-cuma padaku.

Beberapa detik kulalui dengan menatapnya, tetapi aku langsung membuang muka begitu tersadar. Aku pun tertawa kecil. "D-dengan kehadiranmu saja sudah cukup, kok."

Kedua pipinya memerah, aku bisa melihatnya dengan jelas di kulit putihnya.

"T-tadi kau mau mengatakan apa?" tanya Ice.

"Oh, kenapa kau selalu mendengarkan musik? Akhir-akhir ini kau selalu tenggelam di dalamnya, tahu," balasku.

"Iyakah? Maaf, maaf. Aku hanya sedang mencari cara agar aku bisa seperti yang lainnya," balasnya lembut, senyuman tak luntur dari bibirnya

"Seperti yang lainnya?"

Ice berdiri dari bangkunya, lalu menghadapku. Aku perlu mendongak karena Ice tidak berusaha menyamakan tinggi badanku yang masih ditumpu bangku halaman belakang sekolah.

"Mm, mencari cara bagaimana menjadi kekasih yang romantis dengan mencari inspirasi dari sana."

Setelah selesai dengan kalimatnya, ia mengelus rambutku lembut. Hal itu membuat detak jantungku menggila, ditambah senyumannya yang semakin manis, dan perlakuan lembutnya. Dengan begini, pemuda itu sudah cukup romantis.

Fin


Selamat ulang tahun, Niumiii! Aaa, nggak nyangka Niumi tambah tua /ditabok. Semoga seluruh keinginan Niumi selalu terkabul, dan bahagia selalu, ya.

Yang bisa aku kasih cuma fanfic menyedihkan ini, hikd /pundung. Maaf, tulisannya kaku, ya? Mana pendek banget, aduh, dan banyak kekurangan lainnya. Tapi semoga Niumi suka, ya~ Seribu—sejuta cinta buat Niumi~

Btw, udah lama juga aku nggak nulis di fandom ini, aduh kangen XD Juga, nggak kerasa sebentar lagi tahun baru. Semoga bakalan banyak hal-hal baik di tahun yang baru. See you next time! (′?ω?)

3 Desember 2020


BONUS~

Di sebuah kedai es krim langganan Ice, kami duduk di meja yang sama yaitu, di dekat jendela yang mengarah langsung pada jalanan padat di kota.

"Aku ingin es krim vanilanya!" pintaku dengan nada marah.

Ice menggeleng, ia memesan tiga porsi es krim vanila. Kebanyakan kalau kata orang lain, tetapi menurut Ice, ia merasa tiga porsi ini tidak cukup. Ingat kalau aku saja kalah dengan es krim vanila?

"Nggak boleh!" balasnya. "Ini semua punyaku!"

"Ah! Dasar pelit!"

"Memang!"

"Seharusnya ngelak sedikit," balasku sambil tersenyum kesal.