Mark Lee bersiul pelan sambil melihat ke kiri dan ke kanan sebelum berjalan cepat menyeberangi jalan ke arah salah satu bangunan bertingkat empat yang berderet di seberang jalan, di salah satu area pemukiman di Reverside Drive. Langit kota New York terlihat cerah, secerah suasana hati Mark sendiri. Hari yang indah selalu bisa membuat semua orang gembira, bukan?

Yah, sebenarnya tidak juga. Tidak semua orang. Mark yakin ada seseorang yang mungkin sama sekali tidak menyadari langit kota New York yang cerah. Dan bahkan mungkin tidak menyadari daun-daun sudah berubah warna menjadi kuning, cokelat, dan merah.

Tidak sadar dan tidak peduli.

Dan seseorang itu adalah adik laki-lakinya.

Mark yakin Jeno Lee terlalu sibuk untuk menyadari apa pun yang terjadi di sekelilingnya akhir-akhir ini. Ia baru saja merampungkan konser pianonya di Eropa, dan minggu depan ia akan memulai konsernya di Amerika Serikat. Dan seperti biasa, kalau Jeno sudah sibuk, ia jarang mau menjawab telepon dan jarang mau meluangkan waktunya yang berharga untuk membalas pesan atau semacamnya. Karena itu Mark akhirnya memutuskan pergi menemui Jeno secara langsung. Setidaknya untuk memastikan adiknya masih hidup. Juga untuk memastikan adiknya tidak membuat langit New York berubah mendung, semendung suasana hatinya. Oh, kedengarannya memang berlebihan, tapi percayalah, Jeno mampu membuat orang-orang di sekitarnya menjadi tidak bisa menikmati hari yang indah kalau ia sendiri sedang tidak ingin menikmati hari yang indah.

Mark berlari-lari kecil menaiki anak tangga di depan gedung, masih tetap bersiul pelan. Ia baru hendak menekan bel interkom apartemen di lantai empat ketika pintu depan terbuka dan seorang wanita dan seorang anak perempuan kecil keluar dari gedung.

Tangan Mark terulur menahan pintu tetap terbuka sementara pasangan ibu dan anak itu berjalan lewat dan menuruni tangga batu sambil bercakap-cakap.

Mark melangkah masuk ke dalam gedung dan pintu depan pun tertutup serta terkunci secara otomatis di belakangnya. Satu menit kemudian ia sudah berdiri di depan pintu bercat putih dilantai empat dan tangannya terangkat menekan bel.

Pintu baru dibuka setelah Mark menekan bel untuk ketiga kalinya. Raut wajah adiknya yang berdiri di ambang pintu menegaskan dugaan Mark bahwa suasana hati adiknya memang tidak terlalu ceria.

"Hai." Mark tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangan untuk menyapa.

Jeno Lee menatap kakaknya dengan alis berkerut samar, "Kau rupanya," gumamnya, lalu melangkah ke samping membiarkan Mark lewat."Ya," sahut Mark ringkas dan berjalan ke ruang duduk yang luas dan rapi. Mark menyadari pemanas sudah dinyalakan. Setidaknya adiknya tidak terlalu sibuk sampai lupa menyalakan pemanas.

Cahaya matahari menembus kaca jendela yang berderet di salah satu sisi ruangan, membuat ruangan itu terasa hangat, terang, dan sangat nyaman. Ruang duduk itu dilengkapi sofa besar yang empuk, dua kursi berlengan, dan meja rendah dari kayu di tengah-tengah ruangan. Lantainya berlapis karpet tebal. Rak yang dipenuhi berbagai jenis buku—kebanyakan buku musik—menutupi salah satu dinding di sana. Mark melirik piano hitam yang berdiri di sisi lain ruangan. Piano itu dalam keadaan terbuka, dan partitur-partitur musik penuh coretan berserakan di sekitarnya, di atas piano, di bangku piano, di meja kecil samping piano, dan juga di lantai di sekeliling piano.

"Kukira kau masih di Atlanta." Suara Jeno terdengar di belakangnya.

Mark memang pernah memberitahu adiknya bahwa ia dan krunya, 127 Crew, akan mengikuti perlombaan b-boy yang diadakan di Atlanta.

Ternyata adiknya masih ingat, Ia berbalik menatap adiknya yang berjalan menyusul ke ruang duduk. "Aku kembali ke New York kemarin sore," sahut Mark ringan.

Walaupun keturunan Korea, mereka adalah generasi ketiga keluarga Lee yang lahir, besar, dan menetap di Amerika Serikat.

Itulah sebabnya mereka selalu bicara dalam bahasa Inggris, bahkan dengan orangtua mereka.

Alis Jeno terangkat. "Benarkah?" Ia menggeleng pelan dan duduk di bangku pianonya.

Mark berbalik dan berjalan ke arah dapur. "Ada minuman? Aku haus setengah mati. "Ia membuka pintu kulkas dan berseru, "Kau tidak punya apa-apa selain air mineral?"

"Entahlah. Cari saja sendiri." Terdengar jawaban setengah hati dari adiknya.

Mark mendesah dan mengambil sebotol air mineral lalu menutup pintu kulkas. Ia berjalan kembali ke ruang duduk, di mana adiknya sudah kembali menghadap piano dan menempatkan jari-jarinya di atas tuts, memainkan beberapa nada ringan. "Jadi apa yang membuatmu begitu sibuk sampai tidak bisa menjawab telepon dari kakakmu? Persiapan untuk konsermu minggu depan?" tanyanya, lalu meneguk airnya langsung dari botol.

"Bukan," gumam Jeno. Ia tidak memandang Mark, malah memberengut menatap tuts piano. "Aku hanya ingin menyelesaikan ini." Jemarinya kembali bergerak-gerak lincah di atas tuts, dan denting piano yang indah memenuhi apartemen itu. Lalu tiba-tiba saja Jeno menghentikan permainannya dan menggerutu pelan, "Ini tidak benar."

Mark mengerjap. "Kenapa? Menurutku itu bagus," komentarnya. "Lagu barumu?"

Jeno tidak menjawab. Ia kembali memberengut ke arah tuts piano dan sepertinya sudah kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.

"Jeno?"

Yang dipanggil tidak menjawab, padahal Mark berdiri tepat di sampingnya.

"Jeno," panggil Mark lagi. Kali ini sedikit lebih keras.

Tetap tidak ada reaksi.

"Jeno!"

Kali Ini Jeno mengangkat wajah, menatap Mark dengan jengkel.

"Apa?"

Mark melotot menatap adiknya. "Kau harus menjauh dari pianomu untuk sementara," katanya tegas. "Kau harus keluar dari apartemen ini. Sudah berapa lama kau mendekam terus di sini? Sejak kembali dari Eropa minggu lalu? Ini tidak sehat, kau tahu?"

"Aku keluar kemarin," bantah Jeno, namun nada suaranya tidak terdengar meyakinkan.

"Oh, ya?"

"Ya, aku keluar untuk… untuk…" Jeno terdiam, lalu mendongak menatap Mark dengan kening berkerut. "Kenapa pula aku harus menjelaskan semuanya kepadamu?"

Mark mendesah. "Oke. Kita harus keluar dari sini. Ayo, kutraktir makan siang."

"Tidak usah, Aku tidak lapar."

"Jadi apa yang akan kau lakukan? Duduk di sini dan terus memelototi pianomu?l tanya Mark. "Ayo, kita pergi. Siapa tahu setelah makan dan berjalan-jalan melihat dunia di luar sana kau bisa mendapat inspirasi untuk melanjutkan lagu barumu itu. Ayo."

Jeno mendesah keras. "Kadang-kadang aku lupa kau bisa sangat menjengkelkan," gerutunya. Namun ia bangkit juga dari bangkunya dan memandang ke sekeliling ruang duduk. "Di mana kutaruh kunci sialan itu?"

Mark mengangkat setumpuk kertas penuh coretan not balok dari meja kopi dan menemukan kunci mobil yang dicari. "Ayo, kita pergi sekarang."

"Omong-omong, kau belum melakukan apa yang ingin kau lakukan dengan datang menemuiku hari ini," kata Jeno kepada Mark ketika mereka sudah keluar dari apartemennya dan menuruni tangga. "Kau lupa?"

Mark menoleh menatap adiknya dengan alis terangkat heran.

"Apa maksudmu?"

Jeno tersenyum. "Kau datang ke sini untuk berkoar-koar memamerkan diri karena berhasil memenangi perlombaan b-boy di Atlanta itu, bukan?"

Mark menatap adiknya dengan ekspresi terluka. "Asal kau tahu saja, berhubung kau sama sekali tidak menjawab telepon dari keluargamu, aku datang ke sini untuk memastikan kau masih hidup dan masih waras. Untuk mengingatkanmu bahwa kau masih punya ayah, ibu, dan kakak yang mengkhawatirkanmu," katanya panjang-lebar.

"Hmm."

"Dan untuk berkoar-koar memamerkan diri karena kami berhasil memenangkan perlombaan itu," lanjut Mark sambil tersenyum lebar. "Kau mengenalku dengan baik, bukan?"

Jeno tertawa. "Sebaik kau mengenalku."

Jeno tidak akan mengakui hal ini kepada kakaknya, tetapi ia memang merasa lebih baik setelah keluar dari apartemennya.

Kepalanya tidak lagi terasa berat. Meninggalkan pekerjaannya sejenak dan berjalan-jalan menghirup udara segar di luar mungkin memang ada baiknya.

Sebenarnya Jeno bukan orang yang gila kerja. Pada awalnya, setelah merampungkan konsernya di Eropa, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, benar-benar bersantai sebelum kemudian memulai konsernya di Amerika Serikat. Tetapi dalam penerbangan kembali ke New York, mendadak saja ia mendapat inspirasi untuk membuat lagu baru. Namun lagu baru ini tidak bisa diselesaikannya karena inspirasinya menguap begitu saja ketika ia menginjakkan kaki kembali di New York. Kenyataan bahwa ia tidak bisa menyelesaikan lagu itu membuatnya uring-uringan karena ia adalah jenis orang yang harus menyelesaikan sesuatu yang sudah dimulainya.

"Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Jeno ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan meluncur mulus di jalan Marka.

"Ada restoran bagus yang selalu ramai dikunjungi orang di dekat studio tariku. Kau mau mencobanya?" tanya Mark.

"Setahuku tidak ada restoran bagus di dekat studio tarimu," kata Jeno sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat.

"Di dekat studio tariku yang biasa memang tidak ada," Mark membenarkan. "Yang kumaksud adalah studio tari tempatku mengajar sekarang. "Di dekat Greenwich Village. Beberapa minggu terakhir ini aku menyempatkan diri mengajar kelas hip-hop dan sedikit teknik b-boy kepada anak-anak remaja."

Jeno melirik adiknya sekilas dengan alis terangkat. "Kau? Mengajar?" katanya denga nada tidak percaya. Oke, kakaknya memang b-boy yang sangat berbakat. Ia dan krunya sudah sering memenangi pertandingan b-boy nasional dan internasional. Tetapi Mark Lee sama sekali bukan tipe orang yang bisa mengajari orang lain. Ia memang cerdas dan bisa belajar dengan sangat cepat. Namun mengajari orang lain? Tidak. Mark bukan orang yang sabar dan ia sama sekali tidak berbakat menjadi guru. Jeno adalah adik kandungnya yang tumbuh besar dengannya, jadi ia tahu benar soal itu.

Mark tersenyum lebar kepada adiknya. "Hanya kadang-kadang. Tapi, mengejutkan, bukan? Kau tidak menyangka aku bisa mengajar?‖

"Tentu saja tidak," sahut Jeno blak-blakan. "Jadi apa yang membuatmu tiba-tiba memutuskan mengajar anak-anak?"

Mark mendesah, namun senyumnya masih tersungging di bibirnya. "Karena dia memintaku melakukannya."

"Dia? Siapa?"

"Haechan."

"Haechan siapa?"

"Haechan Lee."

Jeno mengerutkan kening dan berusaha mengingat apakah ia mengenal nama itu, karena dari cara Mark menyebut nama itu, sepertinya semua orang seharusnya mengenal siapa Haechan Lee. Tapi tidak, Jeno yakin ia tidak mengenal seorangpun dengan nama seperti itu.

"Dia bertanya padaku apakah aku bisa datang sesekali dan mengajar kelas hip-hop di studio tari tempatnya mengajar—dia juga penari, kau tahu Penari kontemporer. Sangat berbakat. Aku pernah melihatnya menari. Dan aku langsung… terpesona." Mark terdiam sejenak, seolah-olah kembali tenggelam dalam pesona yang disebut-sebutnya itu. Lalu ia melanjutkan, "Pokoknya dia bertanya padaku apakah aku bisa mengajar kelas hip-hop karena mereka kekurangan instruktur hip-hop yang layak. Bagaimana aku bisa menolak kesempatan untuk bertemu dengannya lagi?"

"Mmm," gumam Jeno sambil mengangguk-angguk mengerti. "Jadi kau menyukai gadis itu."

"Pria. " Ralat Mark tenang.

" Dan ya," jawab Mark terus terang, ―Aku dan sekitar selusin laki-laki lain."

"Ah. Pria yang popular," komentar Jeno sambil mengangguk tak mengindahkan fakta baru seputar kakaknya yang menyukai sesama jenis.

"Bisa dibilang begitu," Mark membenarkan, lalu tersenyum tipis. "Dia Pria yang manis. Dan menyenangkan. Dan… entahlah, dia membuat segalanya terasa baik. Kau mengerti maksudku?"

Ya tuhan. Kakakku berubah cengeng, desah Jeno dalam hati. "Jadi, apakah dia juga menyukaimu?" ia balik bertanya.

Kali ini Mark menghela napas panjang. "Itulah masalahnya. Aku tidak tahu."

Jeno melirik kakaknya sekilas dan kembali memperhatikan jalan di depan. "Kau tidak tahu?"

"Aku benar-benar tidak tahu," kata Mark lagi. "Kadang-kadang kupikir dia menyukaiku. Kau tahu, ada saatnya ketika dia menatapku, tersenyum padaku, atau ketika dia berbicara kepadaku, kupikir dia menyukaiku. Tapi kemudian aku sadar bahwa dia juga menatap, tersenyum, dan berbicara kepada orang lain seperti itu. Jadi…. Yah, aku tidak tahu."

Jeno tertawa keras. "Mark, kau sudah dipermainkan," katanya tanpa basa-basi. "Kalau dia memang Pria popular, bisa kubayangkan dia pasti sudah ahli mengendalikan laki-laki yang mengerubunginya. Termasuk kau, Mark yang malang."

Mark menggeleng-geleng. "Tidak, dia tidak seperti itu. Dia bukan tipe Pria seperti itu," bantahnya pelan. "Dengar, kenapa kau tidak mampir sebentar di studio dan aku akan memperkenalkanmu kepadanya. Setelah itu kau akan tahu bahwa penilaianmu salah."

Jeno tidak menjawab, hanya tersenyum lebar dan mengangkat bahu.

"Dau kalau kau memang ahli menilai, mungkin setelah melihatnya dan memperbaiki penilaian awalmu tentang dia, kau bisa memberikan sedikit petunjuk kepadaku tentang cara mendekatinya," tambah Mark lagi.

"Ini tempatnya. Ayo, masuk."

Jeno berhenti melangkah dan menatap gedung batu bertingkat tiga di hadapannya. Pada papan nama yang tergantung di atas pintu masuk tertulis Small Steps Big Steps Dance Studio. Jeno mengikuti Mark yang sudah masuk ke dalam gedung dan melewati meja resepsionis. Mark menyapa wanita setengah baya di balik meja resepsionis, yang balas menyapa sambil tersenyum lebar.

"Itu yang namanya Haechan?" gurau Jeno.

"Haha. Lucu," gumam Mark datar. "Biasanya dia ada di ruang latihan di lantai atas. Ayo."

Jeno terkekeh dan mengikuti Mark menaiki tangga ke lantai atas. "Coba ceritakan bagaimana kau bisa bertemu dengan Haechan ini."

Sebelum Mark sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara terkesiap keras dari atas mereka, disusul bunyi keras. Mereka berdua serentak mendongak. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga Jeno sama sekali tidak melihat apa yang terjadi. Sesuatu terjatuh dari lantai atas, menubruknya dengan keras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di tangga. "Jeno!"

Jeno mendengar seruan Mark sebelum dirinya mendarat di lantai dan kepalanya membentur sesuatu yang keras. Pandangannya menggelap sesaat dan kegelapan serasa berputar-putar di balik kelopak matanya. Sesuatu yang besar menindihnya. Ia tidak bisa bicara. Dan hampir tidak bisa bernapas.

"Jeno! Jeno, kau tidak apa-apa?"

Jeno mendengar suara Mark yang cemas, tetapi ia tidak bisa menjawab.

"Haechan?" Suara Mark terdengar lagi. Kali ini nada suaranya terdengar lebih cemas lagi, "Haechan, kau tidak apa-apa?"

Jeno membuka mata dan langsung menyadari apa yang sebenarnya menindihnya dan membuat dadanya terasa berat.

Pria berwajah Asia dan berambut pendek lurus sebahu yang menindih Jeno itu mengerjap satu kali, lalu mata hitamnya terbelalak kaget. "Oh! Oh, astaga. Oh, astaga! Maafkan aku." Ia cepat-cepat berusaha berdiri.

"Haechan, kenapa…? Apa yang terjadi?" tanya Mark sambil menarik lengan Pria itu untuk membantunya berdiri.

Pria itu meringis ketika kaki kanannya menginjak lantai. "Aduh, Aduh. Sebentar…"

"Kakimu terkilir?" tanya Mark khawatir.

Jeno menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya. Mark sibuk mengurusi Pria itu dan tidak peduli pada adiknya yang tergeletak tak berdaya di lantai? Lihat saja, Mark Lee akan menerima balasannya nanti. Jeno berusaha duduk. Ia menggerakkan tangan untuk menopang tubuhnya dan langsung diserang oleh rasa sakit yang tidak tanggung-tanggung.

"Ada luka lain?" Suara Mark terdengar lagi dan sudah pasti pertanyaan itu bukan ditujukan kepada Jeno. "Kepalamu terbentur? Ayo, sebaiknya kita pergi ke rumah sakit."

"Tidak!" bantah Pria itu cepat. "Kenapa harus ke rumah sakit? Tidak. Aku baik-baik saja."

"Tapi sebaiknya kau memeriksakan diri ke rumah sakit. Hanya untuk memastikan," kata Mark lagi.

"Tidak perlu. Sudah kubilang aku tidak apa-apa."

"Tapi…"

Jeno duduk dengan susah payah dan menyela kakaknya, "Kurasa kita harus ke rumah sakit."

Pria itu menoleh ke arah Jeno. "Sungguh. Aku tidak perlu ke rumah sakit. Aku…"

"Bukan kau," sela Jeno tajam sambil mengertakkan gigi menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk pergelangan tangan kirinya. "Tapi aku."

Kali ini Mark menoleh ke arah Jeno. "Oh, astaga."

Tbc


Halo Kyun imnidaa

kalau kamu pembaca kyun di wattpad, ( nerdyuke_) selamat mampir. kalau kamu belum kenal kyun dari wattpad, halo aku kyun Welcum dan semoga betah di akun aku

BBAS sebelumnya sudah pernah kyun publish di wattpad, tapi karena ada yang report makanya di hapus oleh pihak wattpad. Kyun pindahin BBAS Ke Sini deh jadinya

Mohon bersabar karena semua draft bbas hilang, jadi Kyun harus edit ulang dari awal semuanya:)

akhir kata, Review juseyoong~ (*.*)

-Kyun