Chapter 1 Stasiun Jikku


Kekaisaran Silla, Stasiun Jikku Thn. 872 M

Hari ini sudah memasuki musim gugur itu artinya adalah saat-saat terakhir untuk memasok perbekalan selama musim salju panjang. Cuaca di bumi sudah berubah sejak 500 tahun yang lalu saat fenomena aneh melanda dan membuat suhu bumi turun drastis, dan sudah lebih dari 500 tahun bumi terselimuti salju. Fenomena itu bukan lah satu-satunya, karena waktu-waktu berikutnya fenomena atau lebih tepatnya bencana yang lebih mengerikan terjadi dan membuat umat manusia berada diambang kepunahan.

Daerah itu terbilang lumayan hangat dengan padang rumput yang luas, domba-domba nampak tengah merumput sementara pengembala mengawasi ternak mereka awas, takut kalau ada tangan jahil yang mencuri ternak berharga mereka. Dan diantara pengembala itu dua kakak beradik Jeon nampak tengah adu mulut, mereka memang lumayan eksentrik karena selalu saja ribut tentang banyak hal, tapi sedetik kemudian keduanya bakal akur lagi. Pengembala lainnya pun curi-curi pandang melihat adu mulut keduanya, nampak menikmati perkelahian kecil adik kakak Jeon.

"Jungkook! Sudah kakak bilang berkali-kali kalau kau tak berniat buat mengembala, pulang saja! Bantu ibu membuat roti!" Cercaan itu hanya ditanggapi decihan dari si bersangkutan, mengalihkan pandang dengan bibir yang maju kedepan, si remaja bernama lengkap Jeon Jungkook itu mulai mengulang perkataan kakaknya. Yang tentu mengundang kedutan marah dari si kakak, dengan segenap jiwa bogeman keras melayang di tempurung kepala Jungkook.

"Sakit tau!" Jungkook mengerjap dua kali saat melihat kakaknya tengah melotot kearahnya, mengusap benjolan besar di kepalanya, remaja itu bangkit dan menghampiri para domba yang tengah merumput.

"Akhahaha, makan yang banyak ya, kalian. Biar gemuk, biar daging kalian banyak, biar kami tak kelaparan. Ayo ayo, kunyah rumput lebih banyak."

Si kakak memincing melihat Jungkook yang tengah berbicara dengan para domba, menghampiri sang adik, dia pun mengusap kepala Jungkook pelan.

"Hari semakin dingin, kau pulang duluan saja, biar kakak yang bereskan." Jungkook menoleh menatap kakaknya. "Aku akan bantu, lagian aku bukan anak kecil lagi, usiaku sudah 15 tahun."

Junghyun, sang kakak, hanya menghela nafas pendek mendengar penuturan keras kepala sang adik, "Masih 15 tahun, kenapa kau tidak bersenang-senang saja dengan teman-temanmu?" Jungkook menggembungkan kedua pipinya dan menatap jengkel kakaknya, "Monyet-monyet itu bukan temanku, mereka semua pengecut dan menyebalkan." Mendengar penuturan sang adik membuat Junghyun memijat pangkal hidungnya, "Kau ini, kalau seperti ini terus jangankan pacar, kau pasti tak akan dapat teman."

"Cih! Siapa yang butuh mereka saat aku punya kakak, ibu dan ayah." Junghyun terkekeh mendengarnya, adiknya yang satu ini masihlah manja. Jungkook melotot saat melihat kakaknya malah tertawa, memangnya ada perkataannya yang lucu?! Dia bicara serius loh!

"Kak! Aku serius!" Tawa Junghyun pecah melihat raut wajah Jungkook yang sudah merah, "Iya iya, Jungkook ku yang manja."

"Aku nggak manja ya!" Dan tawa Junghyun pecah sekali lagi.

Saat cahaya matahari hampir tenggelam, Jeon bersaudara itu membawa pulang gembala mereka. Keluarga mereka tinggal di salah satu sudut Stasiun Jikku tepatnya daerah Gerbang Barat, daerah ini dipenuhi oleh petani dan penggembala, ada beberapa juga yang berdagang, masyarakat disini pun lebih familiar dengan sistem barter ketimbang mata uang. Tidak ada sekolah disini, tapi ada satu perpustakaan besar dan tua yang dikelolah oleh seorang sepuh yang dengan senang hati mengajari para anak petani dan pengembala baca tulis. Jungkook dan Junghyun pun pernah diajari oleh sepuh itu sampai mahir, dan mungkin karena kedua Jeon ini punya otak yang cemerlang mereka pun bisa dengan cepat dan mudah menyerap segala yang diajarkan sang sepuh. Bahkan Junghyun pun mulai menemukan bakat baru yakni menggambar, gambarnya tidak hanya dibarter dengan para saudagar disini tapi sudah di jual sampai ke stasiun-stasiun terdekat.

Jungkook sendiri sebenarnya sama berbakatnya dengan sang kakak, hanya saja perhatian anak itu selalu teralihkan dan cenderum suka meninggalkan pekerjaannya setengah-setengah, mungkin ini karena dirinya adalah anak bungsu dan Junghyun ahli dalam segala hal, Jungkook pun jadi kurang bersinar. Tapi hal itu tak membuat kedua orang tua mereka memberlakukan keduanya berbeda, baik Jungkook maupun Junghyun mendapat kasih sayang, pembelajaran dan pekerjaan yang sama.

Kebanyakan rumah disini masih terbuat dari bambu dengan atap datar dan pintu geser, rumah-rumah pun di buat berpanggung dengan pagar rendah yang membatasi tanah milik mereka. Stasiun Jikku di pimpin oleh keluarga Lee, tak sekali dua kali Jungkook melihat para mekanik kereta maupun prajurit relawan yang berseliweran atau para petugas sipil yang rajin sekali menagih pajak.

"Kak, apa kakak pernah berpikir meninggalkan Jikku?"

Juhnyun tersetak saat Jungkook mulai bertanya demikian, berpikir sejenak dia pun melirik adiknya, "Tentu, tapi kakak sudah terlanjur nyaman disini, lagi pula kita tidak kekurangan dan orang-orang disini pun ramah." Mendengar jawaban kakaknya, Jungkook melipat bibirnya kedalam, "Apa, Jungkook ingin pergi dari sini? Ingin sekali?" Jungkook mendongak dan menatap kakaknya, "Humn, aku ingin pergi pergi dari sini, kemarin sepuh menunjukan buku tentang dunia luar, disana banyak sekali gambar yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Soal kalau ada laut diluar sana, gunung vulkanik, bahkan ada hamparan rumput hijau yang sangaaat luas... oh oh, dan juga ada tempat penuh akan pasir, kata sepuh tempat itu panaaaaaas sekali... Kak, katanya ada tempat yang begitu hangat dan indah, juga bunga dan ada hamparan keemasan, sepuh bilang itu adalah padi, kalau dimasak sepuh bilang itu jadi nasi... akh bagiamana ya rasanya nasi, pasti enak sekali, putih bersih... Kak, ayo kita pergi, ayah dan ibu juga... apa kita bisa ajak sepuh juga? Heum, pasti bisa, soalnya walaupun usia sepuh hampir 100 tahun lebih beliau tetap sehat bugar."

Mendengar penuturan penuh kepositif-an sang adik membuat Junghyun hanya bisa menggigit bibir bawahnya, dan tanpa sadar mereka pun telah sampai di rumah. "Kak?" Jungkook menatap punggung lebar dan kokoh sang kakak, apa dia terlalu banyak bicara tadi? Dia kira kakaknya bakal senang saat tahu hal ini, apa kakaknya juga akan seperti mereka yang meledaknya karena terlalu berkhayal dan terlalu mengagumi sepuh?

Junghyun berbalik dan memasang senyum terbaiknya, "Heum, tentu saja. Suatu saat nanti, pasti." Mata Jungkook melebar, dia menatap sang kakak tak percaya, "Kakak percaya? Kakak tak beranggapan kalau aku terlalu berkhayal? Kakak tak menganggapku pemimpi?" Junghyun mengusap kepala adiknya dan tersenyum lebar, "Tentu saja, kau itu kan adik kebangganku. Ayah dan Ibu pun pasti akan senang mendengar cerita mu barusan." Jungkook menangis haru mendengar penuturan kakaknya, dia sangat, sangat bersyukur punya kakak super hebat seperti Junghyun.

"Oi! Jangan nangis, dasar kau ini bilangnya sudah besar tapi tetap saja cengeng."

"Tidak! Aku nggak nangis." Ujarnya seraya mengelap air mata dan air ingus. "kandangkan domba-domba ini dan bantu ibu siapkan makan malam." Dan perintah Junghyun hanya ditanggap anggukan si adik.

"Heh? Jadi Jungkook ingin pergi keluar?" Setelah makan malam Jungkook pun mulai bercerita tentang dunia luar yang pernah ia lihat lewat buku, dan benar saja apa kata kakaknya mereka mendukung dan percaya akan apa yang ia bilang. "Kalau begitu kau harus semangat bekerja karena pergi keluar tak cuma butuh nekad, kau juga harus punya bekal yang banyak." Jungkook tersipu malu saat tangan kasar ayahnya mengusap rambutnya lembut, "Jungkook pasti akan jadi kaya raya kalau dia gigih." Dan celetukan Junghyun mengundang tawa di keluarga kecil nan hangat ini.

Aktifitas keesokan harinya masih sama, Jungkook dan Junghyun mengembala sampai matahari hampir tenggelam setelah itu mereka pulang, makan malam dan berkumpul sebentar setelah itu mereka naik ke ranjang.

Hanya saja malam ini agak sedikit berbeda, kabar soal kereta uap yang akan tiba malam ini mengejutkan para warga, pasalnya baru saja kemarin satu kereta uap datang, menampung dua kereta uap sekaligus pasti akan berat, "Kudengar kalau ada stasiun yang kena serang."

"Mengerikan, mengerikan, entah sampai kapan stasiun ini akan bertahan."

"Hush! Jangan keras-keras, kalau para prajurit mendengar nyawamu bisa melayang."

"Tapi kan..."

Jungkook menatap dua pria dewasa yang tengah saling bisik itu bingung, "Memangnya kenapa kalau kereta uapnya datang lebih cepat?" Junghyun tersentak pelan lalu menoleh kearah sang adik, "Akh, itu karena stasiunnya semakin sedikit, jadi pemberhentianpun berkurang, ya, pokoknya begitu."

"Begitu ya."

Malamnya, saat Jikku diselimuti hawa dingin dan disinari bulan purnama, aktifitas warga biasa sudah berhenti walau ada satu dua orang yang masih lalu lalang. Sementara itu di gerbang sebelah barat para prajurit dan mekanik kereta berkumpul, dua orang bertugas tepat didepan gerbang siap menurunkan jembatan gantung kapanpun. Satu orang berdiri diatas tembok dengan teropong penglihatan malamnya, siap memberi aba-aba saat kepulan asap dan suara deru kereta mulai terdengar. Gerbang dibuka perlahan tapi salah satu dari mereka mengernyit bingung saat tidak melihat tanda-tanda kereta akan melambatkan lajunya.

"OI! TURUNKAN KECEPATAN! TURUNKAN KECEPATAN! OI OOOIII!"

Salah satu dari mereka terbelalak saat menyadari apa yang dibawa oleh kereta itu. Hampir disekujur badan lokomotor dipenuhi bercak darah, bukan hanya itu tapi sesuatu yang menggelayut disana lah yang membawa teror.

"WENDIGO! WENDIGO! ITU WENDIGO! TARIK JEMBATANNYA!"

"Tidak sempat." Si penarik tuas gemetar ditempat saat kereta yang membawa ratusan Wendigo mendekat semakin cepat, satu rekannya berbalik cepat dan melempar sinyal bahaya. Lonceng-lonceng peringatan menggema diseluruh Jikku, tapi hal itu sudah terlambat saat kepala kereta menubruk jembatan dan menghancurkan gerbang barat, membawa masuk ratusan Wendigo yang kelaparan.

Teror menyelimuti Jikku, para warga lari tunggang langgang menyelamatkan diri mereka masing-masing. Mereka bergegas kearah timur. Tapi para Wendigo jauh lebih cepat dari mereka, dengan brutal mereka pun melakukan pemburuan. Suara jerit saling terdengar sahut menyahut, air mata dan keringat bercucuran bahkan darah membanjiri dan menggenang dimana-mana. Salju-salju putih itupun berubah warna menjadi merah.

Ditengah dinginnya malam dan hujan salju Para Wendigo terus memburu dan memakan para warga.

Prajurit pun tak terlalu berguna karena mau sekuat apapun mereka, mereka tetap tak bisa menggores dan membuat luka berarti di tubuh Wendigo. Lempeng es dan besi melindungi kristal jantung Wendigo, membuat mereka mustahil di tembus hanya dengan besi biasa atau ditembak dengan peluruh kaliber kecil, memutus kepala mereka pun percuma karena Wendigo bisa dengan cepat menumbuhkan kepala mereka lagi.

Sumpah serapa terdengar diantara jerit ketakutan dan keputus asaan, stasiun ini sudah tak bisa di huni lagi. Mereka harus bergegas pindah dari sini.

Junghyun menyeret adiknya yang sedari tadi hanya diam, air mata mengalir dari mata Junghyun, wajah dan tangan juga bajunya dipenuhi bercak darah. Kakinya serasa mati rasa, dia sudah tak peduli lagi kalau sekarang dia berlari telanjang kaki diantara tumpukan salju, yang ada dipikiran Junghyun saat ini adalah pergi dari sini dan bertahan hidup.

Mereka baru saja pulang dari membatu tetangga membenarkan pintu rumah mereka saat lonceng peringatan menggema dan para warga mulai lari tunggang langgang di susul oleh sosok monster setinggi 2 meter lebih, tangannya lebih panjang ketimbang kaki karena itu dia berjalan dengan kedua tangan dan kakinya seperti monyet, wajah mereka dipenuhi bulu dengan moncong serigala, liur menetes disela gigi taring mereka, lidah runcing dan panjangnya terjulur, telinga lancipnya berkedut setiap mendengar teriakan para warga dan tanpa ampun dan pilih kasih, monster-monster itu mencabik-cabik manusia dan memakannya. Jungkook gemetaran melihat pemandangan itu, ada banyak darah dimana-mana, suara jeritan dan raungan si monster. Bau anyir mulai tercium dan rasanya perut Jungkook diaduk-aduk, dia ingin muntah, dia ingin pingsan. Tapi Junghyun keburu menarik lengannya, dan keduanya pun lari tunggang langgang mengikuti arus manusia.

Jungkook hanya pasrah saat Junghyun menariknya, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, pemandangan tadi membuatnya syok berat bahkan dia pun hampir lupa cara bernafas. Pikirannya tiba-tiba kosong, suara jeritan yang tadinya terdengar nyaring pun seketika hening, waktu terasa melambat, dia bahkan tak tau harus berekspresi seperti apa saat melihat satu persatu monster itu mulai mencabik-cabik manusia dan memakannya mentah-mentah. Dia bahkan tak merasa sakit saat kakinya mulai membiru, akh sejak kapan dia kehilangan alas kakinya?

brug

Tubuh Jungkook terjatuh diatas salju, Junghyun pun menghentikan langkahnya dan mencoba membopong adiknya. "Jungkook! Jungkook! Jungkook! Bertahanlah! Kumohon! Jungkook! Sadarlah! Gerakan kakimu! Kakak mohon! Bergeraklah!" Jungkook menatap kakaknya bingung, dia tak bisa mendengar suara kakaknya dan dia juga tak bisa membaca pergerakan mulut kakaknya, dia juga tak mengerti kenapa kakaknya menangis dan dipenuhi bercak darah.

Heh? Sejak kapan dirinya juga dipenuhi bercak darah?

Junhyun mematung saat melihat satu Wendigo berdiri tak jauh dari mereka, mata merah darahnya bersinar mengerikan, air liur menetes dari mulutnya yang menyeringai lebar, bahkan Junghyun masih bisa melihat jelas jejak darah di monster itu. Monster itu berlari dari arah samping, dia bisa saja lari dari sini tapi itu artinya meninggalkan Jungkook. Menggigit lidahnya sendiri, mana mungkin Junghyun meninggalkan Jungkook sendirian, terus walauapun dia meninggalkan Jungkook disini belum tentu dirinya pun selamat. Karena itu setidaknya mereka bisa mati bersama, walaupun pasti akan sakit sekali mati di makan monster.

Tapi mati tanpa perlawanan pun Junghyun tak sudih! Bertarung! Dia harus melakukan perlawanan! Tapi, tapi bagaima...

Mata Jungkook terbelalak saat tubuh Junghyun diterjang oleh monster itu, dan semakin lebar saat melihat gigi-gigi runcing Wendigo mulai mengoyak daging kakaknya, darah Junghyun tercecer kesegala arah, merembes ke salju putih begitupun ke arah sang adik. Kerongkongan Jungkook kering seketika, dia hanya bisa melihat saat monster itu mulai mencabik dan melahap kakaknya. Tubuhnya lemas dan bahkan air mata pun tak keluar, otak cerdasnya yang selalu diagung-agungkan sang kakak dan kedua orang tuanya sama sekali tak berguna, itu sudah mati fungsi sejak monster-monster itu datang menyerang.

Tubuh Junghyun sudah terkoyak, bahkan organ dalamnya pun berceceran diatas salju, tubuh Jungkook lemas, dia hanya terduduk disana tanpa berbuat apapun, pandangannya kosong saat menatap mata monster itu. Si Wendigo hanya terdiam disana, sambil mengunyah daging Junghyun si monster hanya menatap Jungkook yang terduduk 2 meter darinya. Mata mereka bertemu tapi Wendigo tak melakukan pergerakan apapun, dia hanya diam disana, seakan mencemooh Jungkook dalam diam.

Dan disaat itu sebuah pedang yang bersinar keperakan menembus jantung Wendigo dari belakang dan seketika hawa dingin menyerbak keluar diselingi asap hitam dari tubuh Wendigo. Tubuh Wendigo itu ambruk dengan kepulan asap masih menguar dari tubuhnya, Jungkook masih terdiam saat melihat siapa yang berhasil menembus jantung monster itu. Pria itu tak lebih tinggi dari Junghyun, mungkin sepatar. Dia memegang dua pedang perak di kedua tangannya, surai coklat madunya bersinar dibawah terangnya purnama, jubah coklatnya berkibar dan mata mereka pun bertemu.

Pemuda itu berjalan menghampiri Jungkook dan berjongkok didepan si remaja. "Bisa berdiri?" Tanyanya seraya mengulurkan tangan, Jungkook hanya diam, dia seolah hanyalah raga tanpa nyawa, kosong.

Pemuda itu menghela nafas panjang dan memincingkan mata sipitnya, "Oi! Kau mati ya?! Apa kau ini bisu dan tuli?! Haish! Percuma saja menyelamatkanmu, apa kau mau mati saja? Dengan senang hati aku akan membunuhmu disini. Yeah, itu lebih baik ketimbang mati seperti orang disana itu." Pemuda itu mulai berceloteh dan menunjuk ceceran daging dan jeroan Junghyun dengan jempol kanannya.

Heh?! Dia bilang apa?!

"Yaampun, kau ini payah sekali ya. Yosh! Kubunuh saja kalau begitu."

Badan Jungkook bergetar, entah kenapa sekarang dia merasa takut, dia takut kalau pedang perak itu menusuknya atau menebas kepalanya, dia takut mati.

"..Ka...Ka..." Alis pemuda itu naik satu saat melihat mendengar suara lirih Jungkook dan tubuh gemetaran si remaja. Menghebuskan nafas lega, dia pun membopong Jungkook di punggungnya dan mulai bergegas pergi dari sana karena 10 meter dari mereka, sekumpulan Wendigo tengah berlari dengan kecepatan penuh kearah mereka.

Pemuda itu membobong Jungkook sampai ditempat pengungsian, tidak begitu banyak manusia disini, sementara itu para prajurit tengah berjaga diluar, menembaki para Wendigo yang mencakar-cakar kayu pembatas.

"Sialan! Sama sekali tidak mempan! Apa masih belum ada perintah?" Suara tembakan terdengar sahut menyahut tapi tak ada satupun yang berhasil melukai monster itu, dan perintah evakuasi belum juga diturunkan.

"Apa jangan-jangan Tuan Besar telah pergi dan meninggalkan kita disini?" Ucapan itu tentu saja membuat mereka yang mendengar tersentak, semangat mereka yang sudah menipis semakin menipis.

Pemuda yang membopong Jungkook tadi mendudukan si remaja didepan pintu, memberi sepasang sepatu dia menatap Jungkook lekat, "Hiduplah." Dan dia pun pergi begitu saja dari hadapan Jungkook.

"Kalian hanya perlu pergi ke kereta kan?"

Perdebatan mereka terhenti saat seorang pemuda menyela, dia pemuda yang sama yang menolong Jungkook, bedanya sekarang ada 5 orang berjubah sama sepertinya dibelakangnya.

"Kalian... tamu yang kemarin...apa..."

"Serahkan Wendigo pada kami, kalian hanya perlu mengikuti kami dibelakang..."

"...Ada yang bisa mengoprasikan kereta disini?"

Seorang pemuda mengacungkan tangan kanannya, "Ya, walaupun baru 2 bulan."

"Yang penting keretanya masih ada dijalur. Yosh! Kalian berlima komando ada padaku, patuhi atau kalian mati."

"Mengerti!"

"Tu...Tuan.." Salah satu petinggi Jikku berdiri didepan si pemuda, gestur tubuhnya terlihat jelas sekali kalau dia sangat ketakutan.

"Ba..Bagaimana kalian mengalahkan mereka? Mereka tak bisa mati walau lehernya ditebas dan jatung mereka tak bisa ditembus. Dan lagi mereka sangat cepat dan ganas." Pemuda itu tersenyum menyakinkan, "Tenang saja, serahkan pada kami."

"Formasi 241! Estimasi waktu 200 detik. Laksanakan!"

"Dimengerti!"

Mereka berenam turun dan seketika para monster itu berbalik dan mengejar mereka. Kelompok itu berpencar, masing-masing beranggotakan dua orang.

"Mereka...bertarung langsung..." Semua orang yang menyaksikan menatap keenam muda mudi itu ngeri, tapi tak sedikit yang menatap kagum dan menaruh harapan besar pada keenam orang asing itu. Dan betapa tidak terkejutnya mereka saat para prajurit lainnya tak mampu menggores pelindung jantung Wendigo, mereka berenam mampu menembusnya, bilah perak mereka menghancurkan lempeng es dan besi lalu jantung kristal para Wendigo.

Di arena pertarungan sendiri mereka berenam nampak sangat mahir, seakan ini adalah pekerjaan mudah dan biasa bagi mereka. Dengan sekejap para Wendigo yang selama ratusan tahun ditakuti terbunuh dan jalan pun mulai terbuka.

"Persetan dengan Tuan Besar! Sekarang kita pergi ke kereta, selagi mereka membantai habis para monster itu!"

Jungkook mengerjap, menatap orang yang berdesak-desakkan keluar. Ingatannya melayang disaat monster itu menyabik tubuh kakakknya. Kemungkinan besar ayah dan ibunya pun tewas, kalau benar begitu itu artinya Jungkook tak punya tempat untuk pulang, tidak akan ada yang menyambutnya, tidak ada yang akan menanyai bagaimana harinya, tidak akan ada lagi obrolan ringan setelah makan malam, atau berbagi satu potong roti berempat untuk berhemat. Jungkook sudah tidak punya alasan untuk hidup.

"Hiduplah."

Perkataan pemuda tadi terngiang di kepalanya, dia tidak bisa begini terus, dia harus melakukan sesuatu! Tapi apa?! Perkataan seperti itu saja tak bisa membuat Jungkook mendapatkan kembali alasannya hidup.

"Tentu saja, kau itu kan adik kebangganku. Ayah dan Ibu pun pasti akan senang mendengar cerita mu barusan."

Ck! Diamlah!

"Apa, Jungkook ingin pergi keluar? Ingin sekali?"

Sudah kubilang diamlah! DIAM!

"Yaampun, kau ini payah sekali ya. Yosh! Kubunuh saja kalau begitu."

Memangnya kenapa kalau aku lemah? Memangnya kenapa kalau aku tak akan bisa menggapai kakak?! Aku juga tidak mau mati! Aku takut!

Tapi monster itu!

Kakak

Kalau saja monster itu tidak ada, kalau saja mereka lenyap dari dunia, kalau saja...

Sialan! Apa yang ku pikirkan barusan! Kau juga tau kan kalau monster itu sudah ada lebih dari 200 tahun! Tidak akan semudah itu menyelapkan mereka semua! Kau sendiri bahkan tak tau jumlah pasti mereka.

Aku tahu! Aku tahu! Diam saja tidak akan merubah apapun, diam tidak akan membangkitkan Kak Junghyun atau membuatku bertemu ayah dan ibu dan bertindak pun tidak akan menghasilkan salah satunya.

Aku harus bagaimana!? Sialan! Kenapa mereka bisa bergerak?! Kenapa mereka masih bisa berlari?!

AKh! Kalau saja waktu itu aku bisa berlari dengan benar, kakak tidak akan repot menyeretku, kalau saja aku tak terlalu syok dan terbawa suasana, aku tidak akan tersungkur dan Kakak tidak akan mengalami akhir yang tragis!

Tapi tetap saja! Semua itu salah mereka! Semua itu salah monster-monster itu! Kalau dari awal mereka tidak ada, umat manusia tidak akan terkurung dibalik dinding dan hidup dalam ketakutan! Tidak akan ada teror maupun darah yang bertumpahan! Tidak akan ada air mata dan keputus asaan.

"Hiduplah."

Ck! Aku mengerti! Aku mengerti! Diam tidak akan mengubah apapun, bergerak pun belum tentu akan mengubah sesuatu. Tapi kalau aku hanya terus memikirkan konsekuensi tanpa mengambil tindakan, tidak akan ada yang berubah. Walaupun hanya satu langkah, hanya satu langkah saja. Aku bisa merubah sesuatu, aku bisa merubah dunia, dunia ku. Hanya satu langkah.

"Hiduplah."

Mungkin ini adalah alasan kenapa manusia terus berjuang untuk hidup. Mereka terlalu takut menghadapi kematian, mereka hanya takut akan sesuatu yang abstrak seperti kematian, dan salah satu dari mereka adalah Jeon Jungkook.

Matanya terbelalak saat tak melihat satupun Wendigo selama menuju kereta.

"Oi! Mereka benar-benar menghabisi monster itu?!"

"Tolong lanjutkan perjalanan kalian. Utamakan manusia, jangan bawa terlalu banyak barang." Gadis itu memakai jubah yang sama, berwarna coklat dengan border dua pedang bersilang di dada kirinya.

Mereka hampir sampai di pangkalan kereta, para warga bergegas berebut gerbong sementara para tetua dan masinis juga dua teknisi menuju lokomotif.

"Tarik tuas yang itu, fokus dan pastikan terkunci dengan benar." Si pemuda yang bertugas menjadi masinis mengangguk paman, menarik tuas kemudi lalu perlahan lokomotif pun bergerak, dan setelah bunyik klik keras lomotif dan gerbong kereta pun berhasil tersambung.

"Kau makin mahir saja sejak terakhir." Da sanjungan itu hanya dibalas kekehan pelan, "Aku akan mengemudi dalam kecepatan penuh loh! Berpegangan!"

Salah satu tetua mengambil alat komunikasi, memberitahu kalau kereta akan segera berangkat dan dengan itu semuanya dimohon berpegangan.

Karburator naik perlahan, uap panas mengepul dari cerobong kereta, bunyi berdering terdengar menggema saat jembatan gerbang timur terbuka perlahan, dan dengan kecepatan penuh kereta uap pun melaju meninggalkan Stasiun Jikku, lalu tujuan mereka adalah Stasiun Jaegun, itupun kalau stasiun itu belum kena serang.

Dan dengan begini malam panjang nan singkat mereka pun akan segera berakhir. Dibawah hujan salju yang semakin lebat, diatas tumpukan salju yang semakin tebal kereta itu melaju dengan pesat. Begitupun dengan Jungkook, perlahan dia akan kembali menemukan alasan untuk hidup.

"Heee, aku melihatnya sendiri loh! Mereka menusuk jantung Wendigo dengan mudah."

"Aku pernah dengar kabar tentang mereka juga rumor merebut kembali stasiun."

"Bukannya itu cuma akal-akalan kekaisaran?"

"Hush! kau tak boleh bicara begitu!"

"Kalau tidak salah lambang di dada mereka itu...Pasukan Pembebas?!"

"Humn, itu maksudku, rumornya mereka satu-satunya harapan umat manusia. Dan setelah melihat mereka berenam beraksi entah kenapa aku bisa menaruh kepercayaan pada mereka."

"Oh ya, ngomong-ngomong mereka dimana?"

"Di gerbong dua, sedang istirahat. Wajar saja mereka habis bertarung tadi."

"Begitu ya."

Jungkook mengamati orang-orang yang tengah mengobrol itu penasaran, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan tapi sepertinya itu bisa ditanyakan lain waktu karena tubuhnya tak tahan lagi. Dia lelah dan sangat mengantuk, emosinya terkuras habis dan mungkin dia akan tertidur pulas, Jungkook harap dia bisa bangun keesokan harinya, karena mati selagi tidur itu bukan seleranya.

"Pasukan Pembebas, ya?"

Ditengah malam, menembus tebalnya salju dan dinginnya angin malam, kereta uap itu terus berderak, uap mengepul dan untuk sekali lagi umat manusia hanya ingin bertahan hidup.


End Chapter 1

Imma drop it here see ya

Give me RnR please

Sincerely

Minerva Lyon