10. luar negeri

Tsukimori sadar betul dengan kelebihan material yang dia miliki. Keluarga yang utuh dan berpengaruh, berikut dengan silsilah yang tak kalah kukuh. Kelebihan tersebut selalu Tsukimori gunakan sebagai landasan untuk mengasah kemampuan bermusiknya.

Piala dan piagam yang dipajang di ruang keluarga adalah imbalan dari itu semua. Beragam acara kompetisi biola di berbagai tempat rutin dia ikuti. Bahkan, pemuda ini punya target berapa kompetisi yang harus dia ikuti per tahun. Tak peduli apakah diselenggarakan di Sendai, Folkestone, atau Poznan; pasti pemuda itu akan segera mendaftar dan menyusun strategi agar posisi juara pertama jatuh ke tangannya.

Namun ada yang menjanggal dari itu semua. Karena tak peduli berapa jumlah kemenangan yang dia raih, Tsukimori tak kunjung belajar ke luar negeri.

Semua orang tahu kalau pemuda ini jenius. Belajar di konservatori musik di Eropa atau Amerika Serikat sembari loncat kelas seharusnya menjadi takdir dari Tsukimori. Akan tetapi, di sinilah Tsukimori berada. Tetap jalan di tempat di Jepang, tetap meraup setiap kesempatan berkompetisi yang lama-lama terasa menjemukan.

(Namun Tsukimori takkan mengakui rasa jemu itu. Dia tidak punya keleluasaan untuk merasa demikian).

Awalnya dia frustasi dengan keadaannya itu. Tetapi saat ini, ketika ia melihat teman-teman dan kekasihnya menikmati pemandangan indah taman di Belvedere, Tsukimori menyadari berkah dari keadaan tersebut.

Pemuda ini diminta untuk menghargai hari-harinya di Jepang, sebelum dizinkan terbang tinggi ke luar sana.