"Jangan bandingkan aku dengan teman-temanku!"

Brak!

"Chan!"

Aku memasuki kamarku dan membanting pintu, terduduk di atas tempat tidurku dan menyilangkan tanganku di dadaku, menundukkan kepalaku. Aku memang paling benci saat ibu sudah mulai membandingkan diriku dengan teman-temanku yang lain. Hari ini adalah akhir catur wulan dan sudah pembagian rapor. Nilai-nilaiku menjadi menurun drastis dan aku tahu, ibuku sangat kecewa karena hasil belajarku yang sia-sia selama ini. Kalian tidak suka jika dibanding-bandingkan dengan teman kalian, bukan. Siapa yang menyukai hal itu? Kalian sama denganku.

Ponselku berdering. Aku tak berkutik. Aku hanya tetap terdiam di tempat tidurku tanpa menghiraukan nada dering yang berasal dari ponselku. Lagipula, pasti mengenai hal yang tidak penting. Tak lama kemudian, aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Aku mengerutkan kening. "Siapa?" tanyaku. "Aku, Hansol." Aku memicingkan kedua mataku dan menatap pintu kamarku, bergegas beranjak dari ranjang dan membuka pintu. Benar saja, Hansol sudah berada di hadapanku. Ia menatapku dengan dingin, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kedua saku jaket hitam yang sedang dipakai olehnya sekarang. "Aku meneleponmu, tetapi kau tidak menjawabku. Aku hanya ingin memastikan apa kau berada di rumah. Ternyata kau berada di kamarmu. Ibumu menyuruhku untuk langsung memasuki kamarmu saja." Ia berkutik sambil tetap berdiri dan menatapku dengan sangat dingin. "Oh, begitu. Baiklah, kau boleh masuk. Ayo." Hansol berjalan pelan memasuki kamarku. Aku membanting pintu. Ia mengernyit. "Jangan membanting pintu. Kau bisa mengganggu anggota keluargamu yang lain." Ia duduk di sebuah sofa kecil yang berada di samping tempat tidurku. Aku duduk kembali di atas tempat tidurku dan menatapnya. Ia melepas jaket miliknya. "Apakah ada orang yang menyukai jika ia dibandingkan dengan teman-teman yang lain?"

"Maksudmu?"

Aku menggeleng cepat. Ia menatapku kembali, seperti tahu isi pikiranku. "Kau baru saja dimarahi oleh ibumu?" Aku terdiam. Hansol tersenyum ke arahku, sepertinya ia yakin bahwa aku memang baru saja dimarahi oleh ibuku. Ia beranjak dari sofa dan menghampiriku. Ia duduk di sampingku. "Kau anak nakal." Ia memukul kepalaku dengan pelan. Aku meringis. Berani sekali dia memukul kepalaku. "Jangan memukul kepalaku dan aku bukan anak nakal. Ngomong-ngomong, rasanya aku ingin cepat-cepat menjadi murid sekolah menengah atas." Aku mendongak, menatap Hansol yang sedang bermain dengan rambutku. "Mengapa kau tiba-tiba bicara seperti itu?" Ia mengacak rambutku perlahan dan tertawa. Aku mendengus pelan dan menggeleng. "Hanya ingin cepat merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang murid di sekolah menengah atas." Hansol menatapku dan tersenyum. "Butuh dua puluh tahun lagi agar kau menjadi murid SMU."

Aku memukul pundak Hansol. "Dasar!"